JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang MK yang salah satu isinya mengatur syarat hakim konstitusi. Dalam aturan itu, calon hakim konstitusi tidak boleh menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun.
Mahkamah menilai, syarat yang tercantum dalam UU tersebut dilandasi pada stigma masyarakat pascaditangkapnya Mantan Ketua MK, Akil Mochtar. Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengatakan, stigmatisasi semacam itu menciderai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang sudah dijamin dalam UUD 1945.
"Hak untuk menjadi hakim konstitusi bagi setiap orang adalah hak dasar untuk ikut dalam pemerintahan," katanya saat membaca putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/2/2014).
Fadlil mengatakan, hak untuk berserikat dan berkumpul, termasuk hak untuk menjadi anggota partai politik telah dijamin Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Dengan kata lain, pembatasan hak yang hanya didasarkan pada stigma merupakan hal yang tidak benar.
"Korupsi haruslah diberantas adalah benar, tetapi memberikan stigma dengan menyamakan semua anggota partai politik sebagai calon koruptor dan oleh karenanya berkepribadian tercela dan tidak dapat berlaku adil adalah suatu penalaran yang tidak benar," tuturnya.
Selain itu, ia menambahkan, persyaratan tersebut amatlah rawan diselundupi. Pasalnya, kata dia, sistem keanggotaan partai politik belum berjalan dengan baik dan tertib sehingga sulit mendapatkan keterangan resmi terkait keanggotaan seseorang dalam parpol.
"Larangan ini mungkin dapat dilakukan kepada pengurus partai. Namun demikian, apakah ada catatan yang memadai siapa saja pengurus partai dari tingkat pusat sampai daerah," katanya.
Seperti diberitakan, MK memutuskan membatalkan UU MK hasil revisi dan memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan putusan tersebut, substansi UU No 4 Tahun 2014 yang menyangkut persyaratan calon hakim konstitusi, pembentukan panel ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) menjadi hilang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.