Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penuh Kejanggalan, MK Diminta Tolak Uji Materi UU MK

Kompas.com - 12/02/2014, 15:45 WIB
Rahmat Fiansyah

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi menilai proses uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 4 tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU Mahkamah Konstitusi penuh dengan kejanggalan. Untuk itu, koalisi meminta mahkamah membatalkan uji materi itu.

"Kami melihat ada keganjilan dan kami mensinyalir ini berdampak pada matinya integritas Mahkamah Konstitusi ke depan," kata salah satu perwakilan anggota koalisi, Erwin Natosmal Oemar, saat jumpa pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Rabu (12/2/2014).

Salah satu kejanggalan itu, kata Erwin, adalah proses uji materi yang begitu cepat. Jangka waktu mulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan sampai dengan pembacaan putusan yang direncanakan Kamis (13/1/2014), hanya memakan waktu dua puluh hari.

Lazimnya, kata Erwin, proses pembuktian dalam sidang uji materi di MK berlangsung tiga kali. Jarak antar-sidang adalah dua minggu. Dalam uji materi UU MK setidaknya memerlukan 5 kali sidang. Jadi, normalnya memerlukan waktu 10 minggu.

"Itu belum dihitung dengan proses kesimpulan dan pembacaan sidang. Anggaplah paling cepat dua proses itu 14 hari, maka untuk pengujian UU MK memakan waktu 12 minggu," kata Erwin.

Kejanggalan lainnya, lanjut Erwin, sidang pemeriksaan yang hanya dilangsungkan satu kali. Selain itu, kata dia, pihak terkait dalam hal ini Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Komisi Yudisial juga diberikan waktu yang sangat terbatas untuk menyampaikan pendapat.

"Berdasarkan informasi yang kami terima, presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) dan KY sampai hari ini juga belum mendapat surat, padahal pembacaan putusan dilakukan besok," ucapnya.

"Satu hal lagi, tindakan Mahkamah Konstitusi yang menerima pengujian UU MK juga menambah kejanggalan lain karena menabrak prinsip dalam hukum: nemo judex in casua sua, yang berarti MK tak bisa menjadi hakim atas dirinya sendiri," imbuhnya.

Dengan demikian, koalisi meminta mahkamah untuk menolak gugatan yang diajukan salah satu kelompok pengacara yang dipimpin Muhammad Asrun itu. Pasalnya, mereka menilai pembatalan UU MK dapat membuat citra MK semakin terpuruk.

Seperti diberitakan, Perppu MK diterbitkan Presiden SBY pascaterungkapnya kasus dugaan suap yang melibatkan Ketua MK saat itu, Akil Mochtar. Ada tiga substansi penting dalam revisi tersebut. Pertama, penambahan persyaratan menjadi hakim konstitusi dengan latar belakang partai politik harus terlebih dulu non-aktif selama minimal 7 tahun dari partainya.

Kedua, soal mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi dari presiden, DPR, dan MA yang harus terlebih dulu di seleksi oleh panel ahli yang dibentuk Komisi Yudisial. Ketiga, soal perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dipermanenkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com