Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki mengatakan, apa yang dilakukan MK bertentangan dengan asas hukum yang berlaku.
"Mencermati persoalan yang diajukan pemohon, penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk menengok kembali asas hukum di dalam hukum acara, seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa)," kata Suparman, melalui pernyataan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (6/2/2014) malam.
Ia mencontohkan salah satu perkara yang pernah terjadi di Eropa. Menurutnya, putusan pengadilan tingkat pertama di Eropa pernah dibatalkan karena dianggap memiliki konflik kepentingan terhadap hakim.
"Sebagai yurisprudensi, Pengadilan Tingkat Banding HAM Eropa membatalkan putusan The Royal Court (Pengadilan Tingkat Pertama) dengan menyatakan hakim The Royal Court tidak imparsial karena memutus menolak perkara pemohon yang berakibat pelemahan kepentingan hakim," kata Suparman.
Alasan yang selama ini kerap digunakan MK, yakni menggunakan argumen dalam putusan No 005/PUU–IV/2006 bahwa berperkara di MK tidak sama dengan berperkara di pengadilan biasa, menurutnya, tidak bisa diterima. Sebagai pengadilan tata negara yang memiliki fungsi memeriksa, mengadili dan memutus perkara, pada hakikatnya MK sama dengan fungsi pengadilan lain.
"Pandangan ini keliru dan tidak dapat dijadikan argumentasi untuk mengabaikan prinsip/asas nemo judex idoneus in propria causa. Dengan kata lain, argumentasi itu tidak beralasan atau bahkan grundloss (tanpa dasar) dan tidak didasarkan pada fondasi yang kokoh, yaitu tidak memiliki landasan filosofis yang memadai," ujar Suparman.
KY meminta hakim MK memperhatikan prinsip keadilan dan kebijaksanaan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang sifat adil dan sifat negarawan yang harus dimiliki oleh seorang hakim.
"Setelah putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU–IV/2006, dalam persoalan ini, sikap adil dan sikap negarawan Hakim Mahkamah Konstitusi akan kembali diuji," katanya.
Menurut Suparman, seluruh dasar argumentasi pemohon menjadi tidak relevan dan tidak logis atau tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
"Oleh karena itu, sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi 'tidak menerima' permohonan pemohon, yaitu tidak melanjutkan kepada pemeriksaan substansi atau menolak seluruh permohonan pemohon tersebut," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, awalnya Perppu ini digugat oleh lima kelompok pengacara yang sering berperkara di MK. Mereka menganggap Perppu tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak dikeluarkan dalam keadaan genting dan mendesak. Namun, setelah disahkan oleh DPR, MK memutuskan tidak dapat menerima gugatan Perppu tersebut karena telah kehilangan obyek.
Salah satu kelompok pengacara yang dipimpin Muhammad Asrun akhirnya kembali mengajukan permohonan uji materi terhadap UU tersebut. Permohonan Asrun tersebut menyasar pada tiga substansi pokok Perppu, yakni mengenai aturan hakim MK tidak berasal dari partai politik minimal tujuh tahun, sistem rekrutmen hakim MK yang melalui panel ahli, serta pengawasan MK oleh Majelis Kehormatan yang dipermanenkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.