Dalam pendapatnya, Maria tetap berpegang pada putusan MK dalam pengujian Pasal 3 Ayat (5) UU 42/2008 yang dikeluarkan pada Februari 2009. Saat itu, MK memutuskan bahwa ayat tersebut yang berbunyi "Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD" adalah konstitusional.
Ketika itu, MK berpendapat, pengalaman yang telah berjalan adalah pilpres dilaksanakan setelah pileg karena presiden dan wakil presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai Pasal 3 Ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR.
Menurut Maria, secara delegatif, UUD 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada pembentuk UU (DPR dan presiden) untuk mengatur tata cara pelaksanaan pilpres serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilu. Dengan demikian, menjadi kebijakan hukum terbuka pembentuk UU untuk merumuskan mekanisme terbaik tata cara pemilu, termasuk dalam penentuan waktu antarsatu pemilihan dengan pemilihan yang lain.
"Pelimpahan kewenangan secara delegatif kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur tata cara pelaksanaan pilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilu memang perlu dilaksanakan karena terdapat hal-hal yang tidak dapat dirumuskan secara langsung oleh UUD 1945 karena sifatnya yang mudah untuk berubah atau bersifat terlalu teknis," kata Maria dalam putusan.
Maria menambahkan, aturan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 9 UU 42/2008 juga merupakan kebijakan hukum terbuka yang pada prinsipnya tidak terkait dengan pengaturan serentak atau tidaknya pemilu. Bila pembentuk UU menginginkan pemilu dilaksanakan serentak, maka presidential threshold tetap dapat diterapkan. Sebaliknya, threshold tersebut juga dapat dihilangkan bila presiden dan DPR menghendakinya.
Untuk diketahui, Pasal 9 tersebut berbunyi, "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR".
Dalam putusan yang dibacakan di Gedung MK, Kamis (23/1/2014), MK berpendapat bahwa putusan tahun 2009 harus dimaknai sebagai pilihan penafsiran Mahkamah atas ketentuan konstitusi yang sesuai dengan konteks pada saat putusan tersebut dijatuhkan.
Adapun terkait teknis pengambilan sumpah, menurut MK, berdasarkan penalaran yang wajar dan praktik ketetanegaraan, maka pengucapan sumpah anggota DPR dan DPD tetap lebih dahulu dilaksanakan. Setelah itu, pengambilan sumpah presiden dan wakil presiden di hadapan MPR.
"Jadi, penyelenggaraan pilpres dan pemilu anggota lembaga perwakilan, baik secara serentak maupun tidak serentak, tidaklah mengubah agenda pengucapan sumpah presiden dan wakil presiden sebagaimana dilaksanakan selama ini," demikian putusan MK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.