JAKARTA, KOMPAs.com — Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Arsil mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan DPR hanya menyetujui atau tidak calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial (KY). Namun, Arsil memperkirakan, nantinya DPR akan tetap melakukan pemilihan dengan mekanisme pemungutan suara.
"Menurut saya, dalam prosesnya DPR tetap memilih. Memilih melalui voting. Pada praktiknya tidak akan banyak berubah," ujar Arsil di Jakarta, Jumat (10/1/2014).
Arsil mengatakan, proses politik setuju atau tidak setuju hanya dapat berlaku secara murni jika calon hakim yang diajukan KY hanya satu orang.
"Ketika ada lima orang calon atau bahkan lebih, tidak bisa sesederhana setuju atau tidak setuju. Si A misalnya, dapat persetujuan 60 persen anggota Komisi III DPR. Si B juga mendapat 60 persen, tapi dengan komposisi anggota yang berbeda. Tetap saja harus ada mekanisme voting," katanya.
Arsil menambahkan, untuk sampai pada proses persetujuan, calon hakim agung bisa jadi juga melalui tes wawancara. Menurutnya, hal itu tetap tidak jauh berbeda dengan mekanisme tes kepatutan dan kelayakan yang selama ini dilakukan di Komisi III DPR.
"Sangat mungkin mereka akan tetap melakukan wawancara. Tidak diatur undang-undang. Itu mekanisme DPR. Tidak bisa dilarang juga," kata Arsil.
Seperti diberitakan, Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan DPR untuk memilih calon hakim agung yang diusulkan KY. Menurut MK, DPR hanya berwenang untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diusulkan KY.
MK pun membatalkan ketentuan di dalam Undang-Undang KY dan UU Mahkamah Agung yang mewajibkan KY mengajukan calon dengan jumlah tiga kali kebutuhan (3:1). MK menyatakan KY cukup mengirimkan satu nama calon untuk satu kursi hakim agung.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengungkapkan, perubahan mekanisme pemilihan hakim agung yang diatur di dalam UUD 1945 hasil amandemen dimaksudkan untuk lebih menjamin independensi kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang merdeka melekat pada institusi sekaligus hakimnya, termasuk hakim agung. Karena itu, mekanisme pengisian jabatan hakim agung harus diserahkan kepada organ konstitusional yang mandiri dan independen, dalam hal ini KY.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.