"Dia seharusnya pasif saja karena Presiden yang menjadikan dirinya sebagai hakim MK. Dia seharusnya tidak boleh melakukan apa pun," kata pakar hukum tata negara, Refly Harun, saat jumpa pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Senin (30/12/2013).
Di tempat yang sama, pengamat hukum Feri Amsari juga mengatakan bahwa salah satu syarat hakim konstitusi adalah kenegarawanan. Dengan kata lain, katanya, respons Patrialis yang langsung mengajukan banding begitu mendengar putusan PTUN dianggap sebagai ambisi pribadi untuk mengejar jabatan.
"Jadi kita menasihati dia supaya mengundurkan diri sebagai hakim MK dan mencabut akta banding," ucapnya.
Selain itu, koalisi tersebut juga menyatakan sikapnya dengan mengecam langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengajukan banding. Ketua Badan Pengurus YLBHI Alvon Kurnia Palma mengatakan, kepala negara seharusnya konsisten untuk melaksanakan putusan PTUN yang sejalan dengan UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang MK.
"Presiden seharusnya bersikap dengan perspektif keadilan, bukan hanya perspetif normatif semata. Benar bahwa Presiden memiliki hak mengajukan banding, tetapi sinkronisasi sikap terhadap upaya pembenahan MK yang kini berada di titik nadir jauh lebih penting," jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, PTUN DKI Jakarta membatalkan Keppres Nomor 78/P Tahun 2013 tentang pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai hakim konstitusi. Penggugat, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK, menyambut positif putusan itu. Perkara itu ditangani majelis hakim Teguh Satya Bhakti, Elizabeth IEHL Tobing, dan I Nyoman Harnanta.
Gugatan diajukan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK karena menganggap ada proses yang salah dalam pengangkatan calon hakim konstitusi. Koalisi juga berpendapat bahwa penunjukan Patrialis cacat hukum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.