Di tengah perjalanan, hujan deras mengguyur kawasan itu. Anies ketika itu tengah melakukan sesi wawancara dengan wartawan di dalam bus khusus wartawan dan relawan. Sesi wawancara dimulai dengan cerita Anies soal kakeknya, AR Baswedan yang merupakan pejuang kemerdekaan.
Setelah itu, wartawan satu per satu mulai bertanya soal perjalanannya kali ini yang menggunakan jalur darat, menjelejajahi Pulau Jawa sejauh 3.000 kilometer. Dari tempat-tempat yang direncanakan akan dikunjungi Anies, terlihat bahwa Anies tengah mendekatkan diri dengan kalangan pesantren yang selama ini menjadi basis massa Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini cukup mengejutkan lantaran Anies bukanlah tokoh NU. Kini, sudah ada dua tokoh dari NU yang hendak mengincar kursi RI 1 yakni Ali Masykur Musa yang bersama Anies maju dalam konvensi, dan Mahfud MD yang sudah mengklaim mendapat dukungan kyai-kyai NU dan juga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Anies menjawab, dia hanya berusaha mendekati semua kalangan. Yang terpenting, katanya, pesan kampanye “turun tangan” bisa disebarkan ke semua kalangan, termasuk kalangan santri yang juga para pemuda.
"Dari dulu memang saya seringnya bekerja dengan pemuda. Maka, ini konsisten saya jalankan sekarang. Tidak mungkin saya mengubah gaya saya, yang bukan jati diri saya sebenarnya," kata Rektor Universitas Paramadina ini. Dengan menyebarkan ide gerakan turun tangan ke berbagai kalangan, Anies yakin akan timbul sebuah gerakan besar untuk bersama-sama menyelesaikan masalah bangsa.
Ketika obrolan mulai hangat, kondisi jalan buruk membuat bus terus berguncang.
Apalagi, jalur Nagrek berkelok-kelok. “Ya beginilah kalau naik bus, terasa sekali infrastrukturnya tidak bagus,” ucap Anies.
Wawancara terus berlangsung. Namun, satu per satu wartawan terlihat mulai “mabuk”. Beberapa di antaranya memilih menengadahkan kepala ke atas, ada pula yang langsung mengoleskan minyak kayu putih di tubuhnya. Satu dua orang mulai silih berganti memasuki toilet dengan muka pucat. Anies yang masih bugar saat itu, mulai melihat kondisi sudah tak kondusif lagi untuk berbincang-bincang.
Apalagi, dua fotografer yang dibawa Anies juga terlihat mulai kepayahan. Jika pertama, mereka berdiri tegap, akibat jalanan yang berliku, kedua fotografer itu pun duduk dengan tampang kuyu.
“Sudah mulai mabuk ya?” tanya Anies yang dijawab anggukan seisi bus.
Anies memutuskan untuk diam, dan membalas pesan singkat yang masuk ke telepon selulernya. Tak lama kemudian, Anies pun terlihat pusing. “Terasa betul kalau sambil menulis,” ujarnya sambil merebahkan kepala di sofa dalam bus. Setelah berdialog di Cipasung, Anies beserta rombongan melanjutkan perjalanan.
Hambatan rupanya tak segera hilang. Bencana banjir melanda jalur yang akan dilewati rombongan. Akibatnya, bus terpaksa harus memutar ke jalur lain yang lebih jauh. Hal ini membuat beberapa titik yang rencananya akan didatangi Anies dibatalkan.
Hotel berjalan
Gaya blusukan Anies tidak mengenal hotel atau pun wisma penginapan. Selama enam hari lima malam perjalanan berkeliling Jawa, tidak sekali pun bus berhenti di hotel. Sebagian waktu bermalam dihabiskan di dalam bus karavan.
Bus karavan ini bisa dibilang sebagai hotel berjalan sepanjang perjalanan. Bus yang mengantarkan Anies beserta rombongan ini juga cukup mewah. Di dalamnya terdapat dua buah sofa, satu buah kursi pijat, dua tempat tidur model bunk bed, dan satu set meja dan kursi untuk membaca atau makan. Bus ini juga dilengkapi dengan alat pemutar DVD. Namun, fasilitas mewah ini tetap saja terasa kurang mana kala satu unit bus disesaki sampai 20 orang.
Malam hari, tidak ada ruang kosong tersisa, semua dipakai untuk tidur wartawan dan relawan. Kolong sofa, hingga area depan toilet pun menjadi pilihan sebagai tempat tidur dadakan. Demikian pula dengan bus karavan yang ditumpangi Anies. Anies kerap tidur di kursi, sementara kamar tidur di dalamnya dipakai istri dan keempat anaknya yang turut dalam perjalanan kali ini.