JAKARTA, KOMPAS.com Mahkamah Agung menolak gugatan sejumlah narapidana kasus korupsi yang keberatan dengan kebijakan pemerintah mengetatkan pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat terhadap napi korupsi, terorisme, narkoba, kejahatan hak asasi manusia, dan lain-lain.

Namun, meski gugatan hukum terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 kandas, pemerintah masih terkesan setengah hati menerapkan PP tersebut. Hal itu terlihat dari Surat Edaran Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin yang menyatakan PP tidak berlaku surut atau berlaku untuk napi yang dipidana setelahnya.

Pandangan itu setidaknya diungkapkan Direktur Program Center for Detention Studies Gatot Goei dan peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, Rabu (27/11). Keduanya minta Surat Edaran Menkumham No M.HH-04.PK.01. 05.06/2013 soal pemberlakuan surut dicabut.

Erwin mengapresiasi putusan MA yang menolak gugatan yang diajukan Rebino dan kawan-kawan. Putusan itu dinilai tepat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat soal hukuman dan pembebasan bersyarat untuk para napi korupsi.

Perihal putusan MA itu dibenarkan salah satu anggota majelis, Artidjo Alkostar. Ia mengatakan, gugatan Rebino ditolak. Namun, ia enggan menjelaskan lebih jauh alasan penolakan MA karena tidak berwenang memberi penjelasan (bukan ketua majelis). Perkara tersebut diputus oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Mohammad Saleh (Wakil Ketua MA Bidang Yudisial) dan hakim anggota Imam Soebechi, Artidjo, Supandi, dan Yulius pada Selasa (26/11).

Perkara tersebut bermula dari gugatan Rebino yang didampingi Yusril Ihza Mahendra. Mereka mempersoalkan Pasal 34 A Ayat (1) Huruf a dan b serta Pasal 36 Ayat (2) Huruf c Angka 3 juncto Pasal 43 A Ayat (1) Huruf a, b, dan c PP No 99/2012.

Pasal-pasal tersebut mengatur pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat hanya dapat diberikan apabila napi bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan (menjadi justice collaborator) dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti yang dijatuhkan pengadilan (khusus untuk kasus korupsi).

Ketentuan ini oleh para penggugat dinilai bertentangan dengan UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan, UU No 39/1999 tentang HAM, dan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mereka merasa hak-haknya sebagai napi untuk mendapatkan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat terlanggar.

Setengah hati

Gatot Goei mengungkapkan, penerapan PP No 99/2012 tidak bakal membawa dampak berarti karena pemerintah sendiri terkesan setengah hati menerapkan PP tersebut. Ini terkait dengan surat edaran Menkumham soal pemberlakuan PP yang dikeluarkan sehari setelah kerusuhan di Rumah Tahanan Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara.

”Kalau benar-benar konsisten terhadap pengetatan remisi, Kementerian Hukum dan HAM perlu menarik surat edaran tentang tidak berlaku surutnya PP No 99/2012 tersebut,” kata Gatot.

Secara tata urutan peraturan perundang-undangan, katanya, surat edaran tidak boleh mengubah pemberlakuan sebuah PP. Dalam rangka pemberantasan terorisme, narkoba, dan korupsi, surat edaran tersebut justru tidak sejalan dengan PP.

Sementara itu, Erwin mengatakan, pihaknya sejak awal menolak surat edaran. Surat itu dinilai tidak memiliki dasar hukum dan merupakan langkah kompromi Menkumham terhadap protes-protes napi.

Menurut dia, Menkumham sudah saatnya tak takut lagi pemberlakuan PP tersebut menimbulkan keresahan di dalam penjara. (ANA)