"KPK tidak tebang pilih, tapi (ada) skala prioritas. Kami hanya menangani grand corruption," kata Abraham saat mengisi talkshow dalam acara Kompasianival di Mall Grand Indonesia, Jakarta, Jumat (22/11/2013) malam. Masyarakat dia minta membedakan antara tebang pilih dan keberadaan skala prioritas tersebut.
Ada dua syarat, kata Abraham, untuk menentukan sebuah korupsi dikategorikan sebagai korupsi besar. Pertama, sebut dia, siapa pelakunya. "Bila pelakunya penyelenggara negara atau penegak hukum," ujar dia.
Kedua, lanjut Abraham, dari nilai kerugian yang ditimbulkan. "Suatu tindak pidana korupsi juga bisa digolongkan sebagai grand corruption jika menimbulkan kerugian negara yang besar," ujar dia.
Pajak dan migas
Dalam skala prioritas tersebut, kata Abraham, tercakup sektor pajak serta minyak dan gas. Kedua sektor dinilai melibatkan nominal keuntungan yang melimpah, tetapi rentan diselewengkan.
Kasus korupsi oleh pegawai pajak Gayus Tambunan dan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjadi contoh kasus korupsi berskala besar dari kedua sektor yang disebutkan Abraham.
KPK harus menerapkan skala prioritas tersebut, kata Abraham, karena lembaga anti-korupsi ini hanya punya 60 penyidik. Dengan jumlah penyidik itu, ujar dia, tak mungkin semua perkara korupsi di Indonesia ditangani lembaganya.
Sebagai pembanding, Abraham mencontohkan Hongkong. Di negara berpenduduk sama dengan Jakarta, sekitar 8 juta jiwa, lembaga anti-korupsinya memiliki ribuan penyidik.
Kasus korupsi yang tak masuk kategori berskala besar atau di luar kedua sektor itu, papar Abraham, dilimpahkan kepada aparat penegak hukum lain, kepolisian dan kejaksaan. Dalam kategori perkara ini, ujar dia, KPK hanya mengawasi penanganannya.
"Kalau tidak kita awasi, (di) polisi (kasus) ini (misalnya) bisa di-86-kan, dipeti-eskan," kata Abraham. KPK, ujar dia, tetap bertanggung jawab dengan kasus korupsi yang dilimpahkan ke institusi penegak hukum lain tersebut.