Indonesia bukanlah setting Delhi abad ke-13 itu. Nasib hakim di negeri ini terjerembap ke kubangan lumpur. Mahkamah Konstitusi (MK), yang termasuk benteng terakhir keadilan selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hancur lebur ketika anarkisme terjadi di ruang sidang, Kamis (14/11).

Sulit rasanya membayangkan kursi beterbangan di ruang sidang MK. MK seperti terjun bebas sejak ketuanya, Akil Mochtar, ditangkap KPK, 2 Oktober lalu, karena diduga terlibat suap dalam sidang sengketa pemilu kepala daerah di Kabupaten Gunung Mas (Kalimantan Tengah) dan Lebak (Banten). Wibawa MK mungkin tinggal sejengkal.

Sikap tercela seharusnya bukan watak hakim. Namun, di negeri ini, banyak hakim tidak terpuji. KPK giat menangkapi mereka. Ada hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Ibrahim, yang ditangkap bersama pengacara bernama Adner Sirait di kawasan Cempaka Putih Barat, Jakarta, akhir Maret 2010. Adner menyerahkan uang Rp 300 juta kepada hakim Ibrahim untuk memenangi kasus sengketa lahan antara PT Sabar Ganda dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ibrahim divonis 6 tahun penjara, dikurangi menjadi 5 tahun di putusan banding, dan di tingkat kasasi dikorting lagi menjadi 3 tahun.

Hakim Muhtadi Asnun, yang juga Ketua PN Tangerang, diseret kasus suap dari Gayus Tambunan sebesar 40.000 dollar AS. Muhtadi divonis dua tahun. Hakim Syarifuddin ditangkap di kediamannya di kawasan Sunter, Jakarta Utara, awal Juni 2011. Dia menerima uang Rp 250 juta dari kurator Puguh Wirawan atas pengurusan kepailitan PT SkyCamping Indonesia. Syarifuddin divonis empat tahun, tetapi dikurangi jadi tiga tahun.

Hakim ad hoc Pengadilan Hukum Industrial Bandung, Imas Dianasari, ditangkap di restoran di daerah Cinunuk, Bandung, akhir Juni 2011. Imas pun divonis enam tahun. Wakil Ketua PN Setyabudi Tejocahyono ditangkap di ruang kerjanya terkait dugaan suap bantuan sosial di Bandung, pertengahan Maret lalu.

Lalu, Heru Kisbandono, hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor Pontianak, Kalimantan Barat, ditangkap karena menyuap hakim Pengadilan Tipikor Semarang untuk memengaruhi putusan terdakwa M Yaeni, Ketua DPRD Kabupaten Grobogan nonaktif, yang terjerat kasus korupsi dana perawatan kendaraan dinas anggota DPRD Grobogan. Heru divonis enam tahun walau dituntut 10 tahun oleh jaksa. Hakim Pengadilan Tipikor Semarang yang dilobi Heru, yaitu Kartini Juliana Marpaung, diciduk di halaman gedung PN Semarang, 17 Agustus 2012.

Memang sulit menebak gerak bibir dan niat di hati. Sewaktu berpidato menjadi Ketua MK, Akil Mochtar bertekad, ”Independensi itu harga mati”. Janjinya, di bawah kepemimpinannya, MK tidak dapat ditembus oleh siapa pun dan apa pun. Ternyata, malah dia yang menembus ke mana-mana. Benteng keadilan itu benar-benar sudah runtuh.

Kisah hakim

Hakim semestinya bersikap seperti hakim Marzuki. Masih ingat kisah hakim Marzuki dari Prabumulih? Jangan perdebatkan kisah itu fiktif atau riil, tetapi resapi saja pesan dari kisah hakim Marzuki agar bisa menyentuh relung hati terdalam. Awal 2012, beredar di media sosial, seorang hakim bernama Marzuki dari Pengadilan Prabumulih memvonis seorang nenek yang mencuri singkong milik sebuah perusahaan swasta.

Si nenek punya alasan mencuri: hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, dan cucunya kelaparan. Namun, hakim Marzuki menolak alasan itu. Hakim Marzuki tetap menjatuhkan vonis. ”Tak ada pengecualian hukum. Saya mendenda Anda Rp 1 juta. Jika tidak mampu bayar maka Anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa,” kata hakim Marzuki.

Di kursi terdakwa, si nenek tertunduk lesu. Hatinya hancur. Lalu, hakim Marzuki mencopot topi toganya (sic! karena hakim kita tak pakai toga) dan membuka dompet. Dia merogoh uang Rp 1 juta dan menaruhnya di topi toganya.

Kepada semua pengunjung sidang, hakim Marzuki memvonis: ”Atas nama pengadilan, saya juga menjatuhkan denda kepada setiap orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar Rp 50.000. Sebab, menetap di kota ini, Anda semua membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya.”

Kisah itu memang persis dengan kisah hakim di New York pada zaman depresi tahun 1930-an saat menjatuhkan vonis sama kepada seorang pencuri roti agar cucunya tidak kelaparan. Namun, sekali lagi, jangan pikirkan kebenaran kisah itu. Cermati saja pesan kisah tersebut.

Tampaknya hakim harus membaca ulang kata-kata filsuf Inggris, John Stuart Mill (1806-1873), bahwa penyusun konstitusi haruslah jiwa-jiwa terbaik suatu bangsa. Saya jadi teringat kata-kata Mochtar Pabottingi, pengamat politik yang kerap bersikap kritis, bahwa kemerosotan etika elite sudah sampai pada taraf sarkastis-patologi yang memprihatinkan.

Padahal, etika adalah hal paling dasar yang mesti dibenamkan di dalam jiwa para pengemban amanat rakyat. Namun, di negeri ini, elite termasuk hakim bisa menjadi predator, bahkan bagi rakyatnya sendiri. Semuanya kemudian menjelma menjadi topeng-topeng penuh kepalsuan. Maka, wakil Tuhan yang tidak terpuji mesti disingkirkan.