JAKARTA, KOMPAS.com — Pemberitaan media massa saat ini kerap mengabaikan perlindungan terhadap korban kekerasan dan konflik sosial. Perlindungan seharusnya diberikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang menjadi korban.

”Pemberitaan tentang konflik dan kekerasan hampir tanpa sensor. Perempuan dan anak-anak yang menjadi korban sering kali dipublikasikan,” kata Wakil Ketua Bidang Program Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak DKI Jakarta Margaretha Hanita.

Margaretha mengemukakan itu saat membahas draf pedoman peliputan berita untuk perlindungan korban trauma pascakonflik di gedung Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM, Selasa (12/11/2013), di Jakarta.

Pemberitaan yang mengabaikan perlindungan terhadap korban dapat mengakibatkan korban mengalami trauma saat melihat atau mendengar kembali peristiwa yang dialaminya.

18 tahun

Margaretha kembali mengingatkan, mereka yang disebut anak-anak adalah yang berusia 18 tahun ke bawah, baik yang sudah menikah maupun belum. Jika menjadi pelaku kekerasan, mereka pun tetap harus dilihat sebagai korban dari sistem pendidikan yang keliru.

Saat anak-anak menjadi pelaku kekerasan, ungkap Margaretha, pemberitaan media seharusnya diarahkan untuk mencari solusi. Dicontohkan, terkait kasus kekerasan atau pelecehan seksual di kalangan anak-anak, media seharusnya tidak mengekspos pelakunya, tetapi mendorong pentingnya pendidikan seks kepada anak.

Anggota Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, yang turut hadir dalam pembahasan draf, tak menampik bahwa media massa sering kali mengabaikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak, yang menjadi korban, dalam pemberitaannya. ”Wartawan masih sulit membedakan antara korban dan pelaku,” ujarnya.

Kode Etik Jurnalistik Pasal 5 mengatur, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

”Mereka harus dilindungi karena sangat mungkin mereka akan dikucilkan,” kata Yosep. (JUM)