KOMPAS.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato panjang pada acara silaturahim dengan Persatuan Wartawan Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (23/10), menyampaikan kritik kepada pers.

SBY mengatakan, kebebasan pers adalah pilihannya. ”Bagaimanapun, apakah ada ekses, ada sesuatu yang merupakan cost dari kemerdekaan pers, tetapi sebuah bangsa, sebuah negara, sebuah demokrasi, sebuah society, kalau memiliki kemerdekaan pers, pasti jauh lebih baik.”

Namun, SBY mengingatkan, bukan hanya kekuasaan itu cenderung korup. Kebebasan juga bisa korup. ”Not only power, liberty too can corrupt. Jadi, kemerdekaan, kebebasan yang melebihi batas itu, bisa corrupt, bisa disalahgunakan,” kata SBY yang rajin baca banyak buku.

Menurut SBY, pekerja pers itu punya kekuasaan besar. ”Ingat, power can too corrupt. Korbannya bisa sangat banyak. Kalau orang diberitakan besar- besar padahal ternyata tidak salah, setelah masuk pengadilan ternyata bebas, itu tujuh turunan sudah menanggung aib selamanya seperti itu,” katanya.

Secara konkret SBY berbicara soal kesalahan pemberitaan tentang terpilihnya Komisaris Jenderal (Komjen) Sutarman menjadi Kepala Polri. Berita yang dianggap salah itu mengatakan, Sutarman tidak diusulkan oleh atasannya, alias tidak diusulkan oleh Kapolri. Namun, SBY dilobi oleh seseorang. Akhirnya, muncullah nama Sutarman.

Menurut SBY, Sutarman terpilih lewat sistem, sesuai dengan undang-undang dan aturan. Nama Sutarman diusulkan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Kapolri. Ketua Kompolnas-nya adalah Menko Polhukam.

”Kompolnas mengajukan empat nama. Di antaranya ada Komjen Sutarman. Kapolri mengajukan empat nama. Di antaranya ada Komjen Sutarman. Kebetulan, empat nama itu sama. Jadi, gugurlah sudah cerita yang dibangun bahwa Sutarman itu tidak diusulkan oleh Kapolri, tidak diusulkan oleh Kompolnas,” kata SBY.

SBY mengatakan, ia memutuskan Komjen Sutarman menjadi calon Kapolri setelah Ketua Kompolnas dan Kapolri menyampaikan nama. SBY juga mengatakan mendengarkan nasihat dari para pembantu lainnya, termasuk Wakil Presiden.

SBY juga menyampaikan kritik terhadap sebagian pemberitaan pers sekitar masalah Partai Demokrat. Namun, SBY berterima kasih ada kritik kepada dirinya. ”Saya—boleh ditulis ini —salah satu korban pers, tetapi saya sekaligus berterima kasih kepada pers. Kalau tidak dikritik, dikecam, dihujat sejak hari pertama saya jadi Presiden, mungkin saya sudah jatuh, mungkin saya semau-maunya, mungkin gegabah dalam mengambil keputusan, mungkin kebijakan saya malah aneh- aneh...,” ujar SBY.

Gus Dur dan Mega

Presiden KH Abdurrahman Wahid di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 17 Februari 2000, juga mengkritik pekerja pers yang memberitakan bahwa Gus Dur dan Jenderal Wiranto waktu itu bermusuhan.

Gus Dur juga tidak setuju pers merayakan Hari Pers Nasional di Istana. Ini menunjukkan pers tidak independen. Gus Dur saat itu mengatakan, kritik ini dia sampaikan sebagai tanda cintanya kepada pers.

Presiden Megawati Soekarnoputri pada puncak Hari Pers Nasional di Solo, Jawa Tengah, Jumat, 9 Februari 2001, juga mengkritik pemberitaan pers tentang aksi demonstrasi massa dan konflik-konflik yang banyak terjadi di Indonesia saat itu.

”Pemberitaan yang obyektif dan tidak memihak tidaklah cukup. Tidak memihak itu sendiri sering kali hanya sekadar lebih memarakkan kesulitan kami,” kata Mega waktu itu.

Berterima kasihlah kepada para pengkritik karena dari mereka ada kejujuran.