Boni mengatakan, kondisi Indonesia saat ini masih berada dalam posisi yang kurang kondusif jika berhadapan dengan masalah toleransi dan pluralisme. Konflik horizontal, lanjutnya, masih sering terjadi antarmasyarakat.
"Padahal harusnya bangsa ini hadir untuk menjaga NKRI yang semuanya satu golongan," ujar Boni.
Kondisi tersebut, menurutnya, diperparah dengan kondisi politik yang juga penuh intoleransi. Banyak tokoh politik, menurutnya, saling menjatuhkan dengan menggunakan senjata suku dan agama. Tokoh politik juga dinilainya tidak dapat memberi contoh yang baik kepada masyarakat.
"Faktanya politik kita masih berupa politik yang rasialis. Menteri dalam negeri ingin menjatuhkan Lurah Susan dan bekerja sama dengan FPI, itu mungkin bagi sebagian orang normal, tapi sebenarnya itu sangat tidak mencemarkan pluralisme," ujar dia.
Belum lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai pro terhadap kaum-kaum intoleran selama dua tahun kepemimpinannya. Kelompok-kelompok radikal seperti yang mengatasnamakan agama seperti Front Pembela Islam (FPI) bebas tanpa kawalan melakukan aksi-aksinya.
"Jadi sebenarnya masyarakat kita ini bukan fanatik. Bukan kontra demokrasi. Yang jadi permasalahan mereka yang memakai simbol agama untuk melakukan perbuatan intoleran. Tapi mereka tidak mendominasi, jadi kita masih punya harapan," kata Boni.
Hal serupa disampaikan pembicara lainnya, Ketua Komite Politik dan Hubungan International GMNI Wilhelmus Wempy. Menurutnya, semakin lama bangsa ini semakin menjadi bangsa yang tidak pluralistis. Jika tetap ingin berkomitmen untuk kemajemukan bangsa ini, lanjut Wempy, prasyarat pluralisme dan kemajemukan ini harus diutamakan.
"Kita butuh seorang pemimpin yg berada dalam alur pluralisme kemajukan. Sehingga, pemimpin kita bisa membela mereka yang tertindas dalam kelompok kecil dan tidak dominan," ujar dia.
Dalam hasil surveinya, Gubernur DKI Jakarta Jokowi Widodo dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menjadi tokoh paling pluralistis. Sementara Gamawan Fauzi dan Dino Patti Djalal menjadi tokoh yang paling tidak pluralistis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.