JAKARTA, KOMPAS.com — Almarhum dan almarhumah itu harusnya didoakan masuk surga, bukan dimasukkan dalam DPT (daftar pemilih tetap). Begitu tertulis di status Blackberry Messenger (BBM) Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, beberapa waktu lalu.

Masuknya nama orang yang sudah meninggal dunia dalam DPT bukan temuan baru. Di setiap menjelang pemilihan umum, hampir dipastikan ditemukan pemilih yang sudah meninggal dunia.

Bahkan, berdasarkan penelitian JPPR diperkirakan, ada 4-5 dari 500 pemilih di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) yang meninggal dunia dalam kurun waktu enam bulan. ”Jadi, kalau dihitung dari Oktober sampai April, saat pemungutan suara, perkiraannya lebih kurang 1,3 juta pemilih meninggal dunia,” kata Hafidz.

Adanya pemilih yang meninggal dunia itu dianggap berbahaya. Sebab, namanya bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menggelembungkan perolehan suara.

”Jadi seakan-akan pemilih almarhum dan almarhumah itu menggunakan hak pilihnya dan itu tidak bisa dikontrol oleh masyarakat. Nama-nama itu rawan dimanfaatkan untuk menambah suara parpol atau caleg,” tutur Hafidz.

Praktik semacam itu bisa dilakukan dengan melibatkan seluruh penyelenggara pemilu, dari KPPS (Kelompok Panitia Pemungutan Suara), PPS (Panitia Pemungutan Suara), PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), dan KPU (Komisi Pemilihan Umum) kabupaten atau kota, provinsi, hingga KPU pusat.

Luput dari perhatian

Soal pemilih fiktif, hal itu ternyata masih luput dari perhatian parpol peserta pemilu, lembaga pengawas pemilu, dan masyarakat. Selama ini, hal yang menjadi sorotan parpol adalah pemilih ganda, pemilih dengan NIK (nomor induk kependudukan) tidak lengkap, dan pemilih dengan syarat tak lengkap.

Menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow, pemilih fiktif lebih berbahaya. Pemilih fiktif potensial dimanipulasi untuk kepentingan parpol tertentu. Namanya bisa juga dimanfaatkan untuk menggelembungkan perolehan suara partai politik.

Selain itu, jumlah pemilih fiktif juga diprediksikan relatif banyak, seperti dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Dalam Pilkada DKI Jakarta, misalnya, terdapat 22 persen pemilih fiktif dalam DPT.

Jumlah pemilih fiktif dalam DPT Pemilu 2014 juga diperkirakan tetap banyak karena metode pemutakhiran data pemilih masih sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Nasdem Ferry Mursyidan Baldan bahkan menganggap 10,4 juta pemilih bermasalah sebagai pemilih fiktif. Oleh karena itu, Partai Nasdem meminta KPU benar-benar bekerja memvalidasi data 10,4 juta pemilih.