KOMPAS.com
- Penghargaan dan perlindungan hak asasi manusia dianggap barang usang. Terjadi pembiaran pelaku kekerasan serta impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM masa lalu. Ratifikasi konvensi internasional dan upaya penegakan HAM yang seolah-olah dijalankan pun justru digunakan sebagai mainan tawar-menawar politik.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah membuat rekomendasi terkait dengan pelanggaran HAM berat pada masa lalu, seperti peristiwa 1965-1966, kerusuhan Tanjung Priok, kerusuhan Mei 1998, dan operasi militer di Papua, yang semuanya tidak dituntaskan pemerintah karena menemui jalan buntu di Kejaksaan Agung.

Kasus lain, menurut komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, sudah diproses hukum, tetapi hasilnya tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Semisal pembunuhan pejuang HAM, Munir bin Thalib, yang hingga kini dalang dari pembunuhan berencana tersebut tidak terungkap. Bahkan, terpidana Pollycarpus mendapat keringanan dari Mahkamah Agung dalam peninjauan kembali yang diputuskan awal Oktober 2013.

Maneger Nasution menilai kasus berat itu akan sulit dituntaskan karena bergantung pada komitmen Kejaksaan Agung. Sementara Kejaksaan Agung sulit bertindak tanpa dukungan tegas Presiden Republik Indonesia.

Anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari, mengingatkan, dibutuhkan jiwa Presiden yang negarawan yang bisa menuntaskan kasus berat pelanggaran HAM pada masa silam yang terus menjadi beban bagi korban dan merusak citra Indonesia.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menyayangkan kondisi ini. Pemerintah Kerajaan Belanda, bekas penjajah Indonesia, saja berani meminta maaf atas kekerasan dan kejahatan perang dalam periode 1945-1949. Seharusnya Pemerintah RI yang berdaulat berani menuntaskan kasus kejahatan HAM pada masa lalu dan mencegah pembiaran kekerasan atas nama kepentingan kelompok ekstrem terhadap orang yang tidak berdaya dengan dalih perbedaan keyakinan dan lain-lain tanpa kecuali.

Didiamkan negara

Selain kejahatan pelanggaran HAM masa lalu yang tidak kunjung dituntaskan, pelanggaran HAM dan aksi kekerasan kelompok ekstrem juga terus dibiarkan penyelenggara negara dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini akan dijadikan preseden buruk bagi penegakan HAM pada 2014 dan masa mendatang.

Rapor merah HAM saat ini, menurut The Wahid Institute, terlihat jelas dalam pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mencatat ada 274 kasus selama 2012. Angka tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009 tercatat 121 insiden, tahun 2010 ada 184 peristiwa, dan tahun 2011 sebanyak 267 kasus.

Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid mengungkap fakta dari 274 kasus pada 2012, sebanyak 166 pelanggaran justru dilakukan aparat negara. Tren itu bakal terus meningkat dari tahun ke tahun karena adanya pembiaran oleh pemimpin dan aparat negara.

Bentuk pelanggaran oleh aparat negara meliputi pembiaran, pelarangan pembangunan rumah ibadah, pelarangan kegiatan keagamaan, kriminalisasi keyakinan, pemaksaan keyakinan, dan intimidasi. Pelaku bervariasi dari polisi, satuan polisi pamong praja, TNI, bupati atau wali kota, hingga camat.

Direktur Setara Institute Hendardi menjelaskan, berdasarkan wilayah, kasus pelanggaran intoleransi agama terbesar selama 2012 terjadi di Jawa Barat (76 peristiwa), Jawa Timur (42 peristiwa), Aceh (36 peristiwa), dan Jawa Tengah (30 peristiwa).

Laporan Setara Institute mencatat, dari total 371 tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan, sebanyak 145 kasus (39 persen) adalah tindakan negara yang melibatkan aparat sebagai aktor pelanggar HAM.

Pelanggaran HAM terhadap rakyat kecil yang hak hidupnya dijarah pengusaha-birokrat dan elite politik juga mengemuka. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Irwan Nurdin menegaskan, hak ekonomi dan sosial masyarakat semakin dikebiri oleh rezim yang berkuasa saat ini serta kemungkinan besar dilanjutkan penguasa hasil Pemilu 2014.

”Harus diingat 70 persen daratan Indonesia adalah kawasan hutan yang memiliki 33.000 desa dan areal seluas 135 juta hektar. Rakyat asli tidak memiliki sertifikat atau alas hak resmi dan justru dianggap liar oleh aparat pemerintah yang berpegang pada beragam izin milik pengusaha besar yang belakangan masuk ke daerah hunian rakyat. Rakyat yang dikriminalisasi karena penegak hukum memakai pendekatan legal-formal, yakni keberadaan selembar surat kepemilikan atau izin resmi,” kata Irwan Nurdin.

Saat ini, rakyat petani hanya memiliki lahan 0,3 hektar per keluarga. Konflik antara rakyat petani dan pemodal besar tidak diselesaikan serta terjadi kerusakan lingkungan yang juga merampas HAM generasi penerus bangsa Indonesia.

Komoditas politik

Mengingat parlemen 2014 akan diisi wajah lama yang saat ini bermain di panggung politik, Manajer Sekretariat Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Oslan Purba mengaku tidak bisa berharap banyak dalam prospek penegakan HAM tahun 2014 pasca-pemilu kecuali terjadi pergantian rezim yang berbeda.

”Karpet merah bagi investor asing dibentangkan dengan pencanangan Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia. Selama ini dengan investor lokal pun masyarakat sudah selalu menjadi korban. Sumber daya Indonesia diobral penguasa untuk kepentingan pemodal asing, seperti pada zaman penjajahan,” kata Purba.

Direktur Program Imparsial Poengky Indarti berusaha berpikir positif dengan menggarisbawahi situasi HAM Indonesia akan membaik pasca-Pemilu 2014 dengan syarat tuntasnya reformasi TNI, Polri, dan badan intelijen. ”Pascareformasi pembelaan HAM tidak saja menyangkut hak sosial politik, tetapi juga hak ekonomi dan sosial,” kata Poengky.

Sampai kini, nama sejumlah mantan petinggi TNI masih tersangkut dalam daftar Serious Crimes Unit Perserikatan Bangsa-Bangsa atas dugaan sejumlah pelanggaran HAM.

Pembelaan HAM pada 2014 akan makin berat dengan akumulasi kasus HAM masa lalu yang tidak dituntaskan, pelanggaran HAM yang terus dibiarkan, dan upaya ”penegakan HAM” yang lebih ditujukan sebagai tawar-menawar antarelite politik yang semakin berusaha membodohi rakyat. (Haryo Damardono)