GORONTALO, KOMPAS.com — Ketua Bawaslu RI Muhammad mengatakan, terjadinya pencurian suara paling rawan saat tahap rekapitulasi di tingkat desa/kelurahan dan tingkat kecamatan. Modus kecurangan seperti itu terjadi pada pemilu sebelumnya.
"Pada Pemilu 2009, praktik pencurian suara seperti ini dilakukan dengan mudah. Jumlah suara seorang calon anggota legislatif justru tidak dimanipulasi di tempat pemungutan suara (TPS)," kata Muhammad saat Pelatihan Pengawasan Pemilu bagi media massa dan organisasi masyarakat di Gorontalo, Sabtu (2/11/2013).
Muhammad mengatakan, kecurangan jarang dilakukan di TPS karena banyak saksi dan warga yang mengikuti jalannya perhitungan suara. Namun, kata dia, di tingkat kecamatan, para pencuri suara itu lebih leluasa mendongkrak jumlah suara dengan cara memindahkan angka dari calon anggota legislatif (caleg) lain.
"Dengan cara-cara seperti ini, caleg yang unggul di TPS beda, di kecamatan beda, bahkan yang dilantik pun bisa berbeda," tambahnya.
Untuk mencegah pencurian suara, Muhammad meminta partisipasi masyarakat untuk mengawasi dan melaporkan adanya manipulasi yang terjadi. Menurutnya, pengawasan pemilu tidak akan maksimal bila hanya dilakukan oleh Bawaslu karena keterbatasan tenaga atau petugas yang bisa diturunkan oleh lembaga penyelenggara tersebut.
"Kami berharap seluruh kalangan masyarakat berpartisipasi aktif, terutama saat rekapitulasi suara. Itulah saat yang paling tepat untuk mengawal jalannya pemilu," katanya.
Dalam pelaksanaan pemilu pada 2014, Muhammad menambahkan, KPU membuat terobosan baru dengan mencetak Form C1 yang menggunakan hologram sehingga tidak bisa dipalsukan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.