"Jika polisi serius, sebetulnya polisi bisa mengungkap banyak kasus korupsi," kata Eddy, kepada Kompas.com, Selasa (22/10/2013).
Selama ini, kata Eddy, Polri selalu mengeluh tak bisa melakukan operasi tangkap tangan (OTT) seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Alasannya, Polri terbentur mekanisme yang mewajibkan mereka harus meminta izin kepada pihak pengadilan sebelum menangkap tersangka yang diduga terlibat kasus korupsi.
"Akibatnya, jika hal itu harus dilakukan, maka operasi yang dilakukan Polri akan terendus oleh tersangka dan mereka kabur," katanya.
Namun, menurut Eddy, hal itu tak dapat dijadikan alasan untuk tidak menyelesaikan penanganan kasus korupsi. Jika serius, Polri dapat memulainya dengan penyelesaian penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum polisi.
"Baru kemudian menyelesaikan kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah. Di daerah itu kan masih banyak pejabat yang terlibat kasus korupsi tapi belum tersentuh Polri," ujar Eddy.
Sebelumnya, T dan D ditangkap lantaran diduga menerima suap dari Komisaris PT SAIPP berinisial B sebesar Rp 1,6 miliar saat keduanya masih bekerja sebagai pegawai pajak. Suap tersebut diberikan untuk penanganan kepengurusan restitusi pajak senilai Rp 21 miliar.
Selain menangakap keduanya, Bareskrim juga menangkap B yang diduga memberikan suap kepada T dan D. Akibat perbuatan ketiga tersangka, mereka diancam akan dijerat dengan Pasal 5, 11, dan 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta Pasal 3 dan 6 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Saat ini ketiga tersangka telah menjalani proses penyelidikan dan dilakukan penahanan oleh penyidik," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Ronny Franky Sompie melalui pesan singkat yang diterima wartawan, Senin (21/10/2013) malam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.