Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PKB: Politik Dinasti Harus Dilarang di Undang-undang

Kompas.com - 17/10/2013, 09:03 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Praktik politik dinasti harus ditolak, bahkan disebutkan pelarangannya dalam undang-undang. Menurut Ketua DPP PKB Marwan Ja'far, di Jakarta, Kamis (17/10/2013), politik dinasti sangat tidak sehat jika diterapkan di Indonesia.

Oleh karena itu, Marwan menuturkan, Fraksi PKB menolak adanya politik dinasti dan mendukung adanya klausul yang mengatur tentang larangan politik dinasti dalam RUU Pilkada. Rancangan undang-undang ini masih dibahas panitia kerja (Panja) DPR RI.


Ada beberapa alasan yang disampaikannya soal perlunya larangan politik dinasti itu.

Pertama, politik dinasti dianggap sangat tidak baik bagi penyegaran demokrasi dan tidak baik pula untuk regenerasi politik. Meritokrasi politik akan mengalami hambatan karena mengesampingkan hak politik orang lain atau kader tertentu yang lebih layak dan berprestasi dengan mendahulukan keluarga besar untuk menduduki jabatan atau dicalonkan untuk menduduki jabatan tertentu.

Kedua, dinasti politik akan menumbuhkan oligarki politik serta tidak sehat bagi upaya regenerasi kepemimpinan politik. Pergantian kekuasaan hanya akan diberikan kepada anggota keluarga dan menyingkirkan orang lain, tanpa melalui proses yang adil dan bijaksana.

Ketiga, politik dinasti akan berdampak buruk bagi akuntabilitas birokrasi dan pemerintahan karena cenderung serakah dan tak jarang pula melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

"Pemerintahan lebih berorientasi mencari keuntungan untuk keluarga, bukan demi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat," ujar Marwan.

Keempat, perlunya politik dinasti dilarang adalah rusaknya rencana besar reformasi birokrasi. Ia berharap agar birokrasi tidak menjadi korban keserakahan demi membangun politik dinasti yang tidak sehat. Birokrasi yang tidak reformatif akan berdampak pada munculnya budaya nepotisme.

Kelima, dinasti politik cenderung menyalahgunakan kekuasaan.

"Siapa yang mempunyai fasilitas lebih banyak, uang lebih banyak, kekuatan dan pengaruh politik keluarga, itulah yang akan memenangkan pertarungan politik, baik perebutan eksekutif di daerah (pemilukada), pemilu legislatif, dan lain-lain," kata Marwan.

Hal lainnya yang membuat politik dinasti perlu dilarang ialah adanya praktik politik yang tidak sehat. Alasan keenam ini, kata Marwan, terlihat dari sikap saling menyalahkan tindakan membangun politik dinasti oleh partai politik tertentu, dan dalam waktu yang hampir bersamaan terjadi saling membantah politik dinasti yang dilakukan oleh partai tertentu pula.

Dengan demikian, akan terjadi saling menjatuhkan yang berakibat pada rusaknya budaya politik santun yang dimiliki bangsa ini. 

Politik dinasti belakangan menjadi ramai diperbincangkan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomentar terkait kasus suap Ketua MK Akil Mochtar yang melibatkan keluarga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. 

Publik pun menyoroti politik dinasti tidak hanya lingkup keluarga Ratu Atut Chosiyah yang menjabat di berbagai posisi di wilayah Banten, tetapi juga keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-Serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-Serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Nasional
Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Nasional
Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Nasional
Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

Nasional
Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Nasional
Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami 'Fine-fine' saja, tapi...

Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami "Fine-fine" saja, tapi...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com