Demikian, antara lain diingatkan KH Ma’ruf Amin, Ketua Harian Majelis Ulama Indonesia Pusat, dalam khotbah Arafah tahun 1434 H/2013 M, di tenda yang difungsikan sebagai masjid di areal maktab Misi Haji Indonesia di Arafah, Arab Saudi, 9 Zulhijah atau Senin (14/10/2013) siang. 

Wartawan Kompas, Ratih Prahesti, dari Mekkah, melaporkan, selain jemaah haji Indonesia dan Amirulhaj Indonesia Suryadharma Ali, juga hadir Ketua DPR Marzuki Alie, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, serta Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz.

Ma’ruf Amin memaparkan, kepemimpinan (al-imamah) merupakan pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Itu sebabnya, memilih orang yang menduduki kepemimpinan tersebut hukumnya adalah wajib menurut ijmak (kesepakatan) ulama.

”Umat Islam sebagai bagian terbesar di Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk memilih pemimpin yang mempunyai integritas, kapabilitas, ketegasan, amanah, dan berakhlakul karimah,” katanya.

Ia melanjutkan, memilih pemimpin adalah perkara penting karena sang pemimpin inilah yang akan memegang kendali komando dalam membawa perjalanan bangsa menuju visi dan misi sebagaimana disebutkan dalam konstitusi. Kelayakan menjadi pemimpin bukan semata pintar, melainkan juga tegas, istikamah, dan sangat sadar bahwa kepemimpinan yang diemban merupakan amanah dari Allah SWT yang harus dipertanggungjawabkan kelak di yaumil akhir (hari kiamat).

Menurut Ma’ruf Amin, pemimpin yang tepat dapat membawa Indonesia keluar dari krisis. ”Karena itu, Pemilu 2014 yang akan datang menjadi momentum untuk memilih pemimpin yang kuat, yang mampu memimpin perlawanan terhadap penindasan serta hegemoni ekonomi, politik, dan budaya,” ujarnya.

Ia mengingatkan, pemilihan umum biasanya hiruk-pikuk dan menaikkan suhu politik. Hal ini rawan karena dapat mengganggu stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi. Umat Islam yang merupakan bagian terbesar di Indonesia harus mampu menjadi peredam dan penyejuk setiap potensi konflik tersebut.

Ma’ruf Amin mengajak seluruh jemaah haji yang berwukuf di Arafah mendoakan bangsa Indonesia agar mendapat pemimpin yang kuat, beriman, dan bertakwa serta mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar, jaya, dan sejahtera. Sebelum Khotbah Arafah tersebut, Suryadharma Ali juga menyampaikan ajakan agar jemaah haji Indonesia berdoa bagi kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia.

Tiga hikmah

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ny Ani Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono beserta Ny Herawati Boediono, kemarin, melaksanakan shalat Idul Adha di Masjid Istiqlal. Presiden dan Wakil Presiden didampingi sejumlah pemimpin lembaga negara, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, serta perwakilan negara sahabat.

Anre Gurutta Haji Prof M Faried Wadjedy, pemimpin Pondok Pesantren Darul Dakwah wal Irsyad, Mangkoso, Barru, Sulawesi Selatan, dalam khotbah shalat Idul Adha 1434 H di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (15/10/2013), mengingatkan ada tiga hikmah yang tersirat dalam peristiwa kurban Nabi Ibrahim.

Pertama, tanggung jawab sebagai fondasi aktivitas. Nabi Ibrahim mencontohkan tingginya rasa tanggung jawab dalam menunaikan tugasnya. Ia berupaya mengabaikan egoisme. Ia gigih menjalankan perintah Allah kendati tidak sejalan dengan harapannya.

”Begitulah semestinya, kita harus menanamkan tanggung jawab dalam keseharian sehingga berimplikasi positif terhadap bangsa dan negara. Egoisme pribadi dan kelompok harus ditepikan untuk memprioritaskan kepentingan bersama yang lebih utama,” katanya.

Ketika rasa tanggung jawab ini tertancap kokoh dalam sanubari dan terpatri dalam keseharian, menurut Faried, profesionalisme akan terbangun secara konstruktif. Dimensi tanggung jawab ini senantiasa memberikan yang terbaik berdasarkan kapasitas dan kapabilitas masing-masing.

Hikmah kedua, yaitu optimisme sebagai penopang kreativitas. Nabi Ibrahim mencontohkan betapa tinggi optimismenya ketika ia bersama anak-istrinya meninggalkan Mina yang tanahnya subur menuju Mekkah yang tandus. Sebuah pengorbanan besar karena harus merelakan buah hatinya tinggal di kawasan Mekkah yang tidak berpenghuni saat itu.

Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa keberanian mengambil risiko demi menghadapi tantangan merupakan salah satu cara yang harus ditempuh untuk meraih kemajuan. Meninggalkan zona nyaman dengan optimisme.

”Pengabdian kepada bangsa dan negara dapat terejawantahkan dengan optimisme, dengan berupaya seoptimal mungkin menghadirkan kreasi dan inovasi yang mengakomodasi tuntutan kekinian, tetapi dapat bertindak pada lokalitas budaya sendiri yang terbilang kaya,” katanya.

Hikmah ketiga adalah kemampuan bekerja sama dengan pihak lain. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mencontohkan kerja sama yang apik pada saat mengutarakan maksudnya untuk menjalankan perintah Allah SWT untuk mengorbankan putranya. Nabi Ismail dengan lapang dada merespons dengan baik maksud ayahnya kendati yang disembelih akhirnya seekor domba karena Allah tidak menghendaki yang dikurbankan manusia.

Antara ayah dan anak tercipta relasi yang harmonis sehingga tercipta saling pengertian dalam menjalankan perintah Allah SWT. ”Pengabdian kepada bangsa dan negara tidak dapat menihilkan kerja sama. Jalinan kebersamaan untuk padu dalam keseharian, juga menjadi prasyarat kesuksesan,” katanya. (WHY)