Faktor pertama adalah hadirnya sistem proporsional suara terbanyak. "Kedua, masuknya sengketa Pilkada ke MK sejak 2008 yang booming di 2010. Untuk pilkada ini, sebenarnya MK yang mengundang lewat iklan," ujar Refly dalam diskusi di Jakarta, Minggu (13/10/2013).
Faktor ketiga, lanjut Refly, adalah masuknya orang-orang partai menjadi hakim konstitusi. Di dalam kasus suap yang menimpa Akil, kata Refly, terlihat jelas peranan politisi Partai Golkar Chairun Nisa sebagai seorang broker.
Menurut Refly, semua tokoh politik pasti sudah pernah berhubungan dengan hakim konstitusi. Hubungan itu dinilai sebagai investasi ke depan. Proses seleksi di DPR pun, sebut Refly, sudah didesain untuk mengegolkan seseorang yang memiliki kedekatan dengan partai tertentu.
"Makanya, untuk kemudian hari, hakim MK jangan lagi dari partai politik," ujar Refly.
Terkait dengan modus yang dipakai hakim konstitusi untuk menerima suap, Refly mengungkapkan sejak awal sebenarnya sudah diketahui para pihak yang bersengketa di MK. Hakim itu, lanjutnya, mendekati pihak yang menang dan meminta imbalan tertentu. Padahal, tanpa ada imbalan, pihak yang dimintai uang itu sebenarnya sudah menang.
"Tapi karena paranoid, akhirnya dia mau memberikan uang," ucap Refly.
Lebih lanjut, Refly mendukung langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Namun, Refly berharap perppu itu tidak mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial mengawasi hakim MK. Ia mengatakan, MK dapat diawasi oleh Majelis Kehormatan Hakim permanen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.