JAKARTA, KOMPAS.com
—  Putusan Mahkamah Agung yang menaikkan hukuman pelaku korupsi dan pencucian uang hingga tiga kali lipat dinilai sangat menggembirakan di tengah-tengah kekecewaan publik atas kinerja MA, khususnya terkait bebasnya Sudjiono Timan.

Putusan tersebut bisa menjadi preseden yang baik untuk kasus korupsi dan pencucian uang dan dapat dijadikan acuan oleh jaksa untuk menuntut dan hakim untuk menghukum pelaku dua kejahatan tersebut.

Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, Selasa (1/10), mengungkapkan, tidak ada yang keliru dari putusan tersebut. Meskipun yang dihukum 10 tahun adalah kasus penerimaan uang senilai Rp 280 juta, tetapi demi pemberian efek jera hal tersebut tidak menjadi masalah.

”Putusan ini penting. Bisa jadi acuan untuk hakim dan jaksa. Di tingkat kasasi untuk korupsi yang kurang dari Rp 300 juta, hukumannya bisa lebih besar. Memang korupsi itu bukan persoalan matematis, yang korupsi sedikit dihukum ringan yang besar dihukum berat. Ada faktor lain yang memberi pengaruh,” ujar Emerson.

Seperti diberitakan Kompas (1/10), MA memperberat hukuman Tommy Hindratno, pegawai pajak pada Kantor Pajak Sidoarjo, dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun. Pada saat yang sama, MA juga memperberat hukuman Zen Umar, Direktur PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari 5 tahun menjadi 15 tahun.

Terkait putusan tersebut, kuasa hukum Tommy Hindratno, Tito Hananto Kusuma, mengungkapkan, pihaknya akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan tersebut. Ia menilai, majelis kasasi tidak mempertimbangkan fakta bahwa kliennya sudah melaporkan gratifikasi tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tommy bahkan memiliki bukti tanda terima pelaporan tersebut.

”Putusan ini semena-mena. Jelas kami akan PK,” ungkap Tito.

Sosok Artidjo

Perkara Tommy Hindratno dan Zen Umar diputus oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar yang juga Ketua Kamar Pidana MA. Bersama-sama dengan Hakim Agung MS Lumme dan Mohammad Askin, mereka menyatakan Tommy dan Zen Umar bersalah.

Artidjo Alkostar diangkat sebagai hakim agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Ia diangkat bersama-sama dengan Bagir Manan, Muladi, Benjamin Mangkoedilaga, dan lainnya dengan Keputusan Presiden Nomor 241/M/Tahun 2000 tertanggal 2 September 2000. Pada awal kariernya sebagai hakim agung, mantan Direktur LBH Yogyakarta itu tidak memegang perkara-perkara penting dan besar.

Pada 2006, Artidjo tercatat sebagai anggota majelis perkara pembunuhan aktivis HAM Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto. Majelis kasasi yang diketuai oleh Iskandar Kamil (Ketua Muda Pidana MA ketika itu) menjatuhkan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara karena hanya terbukti bersalah membuat surat tugas palsu. Artidjo mengajukan dissenting opinion (DO) atau pendapat berbeda. Belakangan, Pollycarpus dihukum 20 tahun penjara oleh majelis PK yang diketuai oleh Bagir Manan. Artidjo juga tercatat mengajukan DO pada perkara PK Misbakhun, politisi PKS.

Artidjo memperberat hukuman Anggodo Widjojo dari lima tahun menjadi 10 tahun (diputus Artidjo bersama dengan Suryajaya, Abdul Latief, Krisna Harahap, dan MS Lumme), perkara mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dalam perkara suap Rp 4,6 miliar dari 4 tahun 10 bulan menjadi tujuh tahun (diputus Artidjo dengan Mochammad Asikin dan MS Lumme).