KOMPAS.com
- Dari sekian banyak hal yang menyebalkan dari politik adalah sampahnya. Sampah itu saat ini merusak publik di seluruh Indonesia. Mencegah kesebalan bertambah, ”Petisi Reresik Sampah Visual” di laman www. change.org dibuat.

Petisi berisi seruan larangan memasang iklan politik di taman kota dan ruang terbuka hijau, trotoar, dinding dan bangunan warisan budaya, jembatan, tiang telepon, tiang listrik, tiang rambu lalu lintas, tiang lampu penerangan jalan, serta dipasang dan dipakukan di batang pohon. Hingga Jumat (27/9) malam, 3.181 orang memberi dukungan karena sebal dan berupaya membuat perbaikan.

Pabliyanda Akbario, salah satu penanda tangan petisi, mengemukakan, iklan visual politik merusak pemandangan dan membuat konsentrasi pengguna jalan terganggu. Awaluddin Yunus, penanda tangan lain petisi ini, menulis, ”Gerakan ini bagus untuk menyadarkan kita bahwa kita punya hak untuk wilayah.”

Inisiator Komunitas Reresik Visual, Sumbo Tinarbuko, di Yogyakarta, menjelaskan, petisi bermula dari gerakan masyarakat di Yogyakarta yang kian gemes terhadap sampah visual yang ”merusak” kota. Semangat itu disebarkan lewat media sosial, seperti Facebook dan Twitter (@sampah_visual). Sambutannya cukup hangat.

Komunitas ini menggelar 14 aksi bersih-bersih sejak 2012. Awal Agustus 2013, misalnya, mereka bekerja sama dengan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Yogyakarta membersihkan 67 spanduk, baliho, pamflet, atau poster dari banyak caleg dan sejumlah partai politik. Gerakan ini makin kuat karena ada Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013 yang efektif sejak 27 September. Di dalam aturan ini disebutkan, baliho atau papan reklame hanya untuk parpol dan calon anggota DPD. Calon anggota DPR dan DPRD boleh pasang satu spanduk 1,5 meter x 7 meter untuk satu zona.

Sumbo, yang juga dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, mengatakan, sampah visual para politisi membuat masyarakat bangkit melawan. ”Iklan politik yang berhasrat menjajah ruang publik justru membuat publik sinis terhadap egoisme caleg atau parpol,” katanya.

KOMPAS.com/Achmad Faizal Baliho pasangan cagub-cawagub di jalanan Kota Surabaya.
Rusak lingkungan

Bagi anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, alat peraga seperti baliho memang dapat meraih simpati publik. Dia sendiri menyebarkan dua spanduk per kecamatan di Pandeglang dan Lebak. Isinya ucapan Idul Fitri sebagai anggota DPR, bukan sebagai caleg.

”Saya mendukung para caleg menggunakan alat peraga yang lebih elegan, artistik, dan tanpa merusak lingkungan (pohon),” kata Ace, yang juga Wakil Sekjen Partai Golkar.

Tunggal Pawestri, caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, malah menjadi inisiator petisi ini. Menurut dia, spanduk dan semacamnya kurang efektif memengaruhi publik. Jika dipasang serampangan, iklan itu justru memicu sinisme dan apatisme masyarakat pada politik.

Pengamat semiotika dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Yasraf Amir Piliang, menilai, pemasangan spanduk dan sejenisnya sulit dihindari dalam kompetisi ketat pemilihan langsung. Sayangnya, peraga kampanye itu seragam, miskin kreativitas, dan lebih mengutamakan jumlah. Jangan-jangan didesain dan dicetak di pabrik yang sama.

Fenomena itu memperlihatkan sikap sebagian politisi yang malas, suka ambil jalan pintas, bahkan kehabisan akal berkampanye. Iklan yang berkualitas memerlukan proses, riset, gagasan kuat, rancangan desain artistik, dan strategi komunikasi. Publik tertarik dengan tawaran unik, baru, dan menyentuh.

Kini dengan peraturan KPU No 15/2013, upaya membersihkan sampah politisi ini makin kuat dasarnya. Badan Pengawas Pemilu dan aparat pemerintah daerah adalah penjurunya. Jika mereka malas atau justru main mata, masyarakat yang jengah akan turun tangan dengan caranya. (Ilham Khoiri)