Oegroseno pun berharap agar setelah kasus ini tidak ada lagi anggota polisi yang berperilaku seperti Djoko.
"Saya berdoa mudah-mudahan seperti (tidak ada Djoko Susilo berikutnya) itu, kasihan Polri kalau ada seperti ini lagilah," kata Oegroseno seusai melakukan rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Selasa (3/9/2013).
Jenderal bintang tiga itu mengaku tidak bisa menilai apakah putusan hakim wajar atau tidak karena proses hukum berjalan. Ia berharap agar ke depan kasus ini menjadi pelajaran bagi kepolisian.
"Jadi, sekarang kita lebih disiplin dalam anggaran, disiplin dalam perencanaan, disiplin dalam pengawasan, semuanya," kata Oegroseno.
Seperti diberitakan sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis berupa hukuman 10 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan kepada Djoko. Hakim menilai jenderal bintang dua itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang merupakan gabungan perbuatan dalam pengadaan proyek simulator ujian surat izin mengemudi roda dua dan roda empat.
Djoko juga dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang untuk periode 2003-2010 dan 2010-2012. Putusan ini lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa KPK yang meminta Djoko dihukum 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Majelis hakim Pengadilan Tipikor juga menolak tuntutan jaksa KPK yang meminta agar hak politik Djoko untuk memilih dan dipilih dicabut. Hakim menilai, pencabutan hak politik tersebut berlebihan.
Menurut majelis hakim, Djoko terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangannya sehingga merugikan keuangan negara. Djoko terbukti memerintahkan panitia pengadaan agar pekerjaan simulator roda dua dan roda empat diberikan kepada PT Citra Mandiri Metalindo Abadi milik Budi Susanto. Dari Budi, Djoko mendapatkan uang Rp 32 miliar.
Selain itu, menurut hakim, Djoko terbukti melakukan penggelembungan harga alat simulator SIM dengan menyusun harga perkiraan sendiri (HPS) bersama-sama Budi.
Pencucian uang
Menurut hakim, Djoko terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan membeli aset yang diatasnamakan orang lain. Melihat waktu pembelian aset berdekatan dengan diterimanya uang Rp 32 miliar dari Budi, patut diduga aset-aset tersebut berasal dari tindak pidana korupsi proyek simulator SIM.
"Melihat locus dan waktu setelah menerima uang Rp 32 miliar dari Budi Susanto, maka patut diduga bahwa uang tersebut terbukti untuk pembelian properti tersebut di atas," kata Hakim Anwar.
Majelis hakim juga menilai Djoko sengaja menyembunyikan asal usul asetnya dengan tidak melaporkan asetnya dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Aset Djoko dianggap tidak sesuai profilnya sebagai pejabat kepolisian.
Untuk periode 2003-2010, Djoko memiliki total aset senilai Rp 54,6 miliar dan 60 dollar AS. Padahal, total penghasilan yang diperolehnya sebagai pejabat Polri ketika itu hanya Rp 407 juta dan penghasilan lainnya sekitar Rp 1,2 miliar.
Dalam periode itu, Djoko pernah menjabat sebagai Kepala Polres Bekasi, Kepala Polres Metro Jakarta Utara, Direktur Lantas Polda Metro Jaya, Wakil Direktur Lantas Babinkam Polri, Direktur Lantas Babinkam Polri, dan Kepala Korlantas.
Kemudian, dalam periode 2010-2012, penghasilan Djoko sebagai pejabat Polri hanya sekitar Rp 235,7 juta, ditambah penghasilan lainnya senilai Rp 1,2 miliar. Namun, dalam periode itu, Djoko telah membeli aset sekitar Rp 63,7 miliar. Dalam periode ini, Djoko menjabat sebagai Direktur Lantas Babinkam Polri, Kepala Korlantas, dan Gubernur Akpol.
Djoko banding
Atas putusan ini, Djoko dan tim pengacaranya akan mengajukan banding.
"Setelah kami berunding dengan klien kami, kami akan ajukan banding. Oleh karena itu, mohon dicatat panitera," kata pengacara Djoko, Juniver Girsang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.