JAKARTA, KOMPAS.com
— Mahkamah Agung—melalui putusan peninjauan kembali—membatalkan hukuman 15 tahun penjara untuk Sudjiono Timan, mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, yang semula dinyatakan terbukti melakukan korupsi sehingga merugikan keuangan negara lebih dari Rp 2 triliun.

Putusan tersebut tidak hanya membatalkan putusan kasasi MA, tetapi juga diberikan kepada orang yang masuk dalam daftar pencarian orang. Saat jaksa akan mengeksekusi putusan hakim kasasi pada 7 Desember 2004, Sudjiono sudah melarikan diri. Padahal, saat putusan kasasi dijatuhkan pada 3 Desember 2004, Sudjiono dalam status dicekal, bahkan paspornya sudah ditarik.

Dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 6 Tahun 1988 yang ditandatangani Ali Said, Ketua MA, kemudian diperbarui melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2012 disebutkan, pengadilan supaya menolak atau tidak melayani penasihat hukum atau pengacara yang menerima kuasa dari terdakwa/terpidana yang tidak hadir (in absentia) tanpa kecuali.

Permohonan peninjauan kembali (PK) diajukan istri Sudjiono, didampingi kuasa hukum Hasdiawati. Berkas PK diterima MA, 17 April 2012, dan pada 31 Juli 2013, MA memutuskan mengabulkan permohonan tersebut.

Putusan itu dijatuhkan majelis PK yang dipimpin Hakim Agung Suhadi dengan hakim anggota Andi Samsan Nganro, Abdul Latief, Sri Murwahyuni, dan Sophian Martabaya. Dalam penanganan perkara ini ada pergantian majelis karena salah satu hakim agung, yaitu Djoko Sarwoko, pensiun.

Majelis PK, kata Suhadi, menemukan kekeliruan hukum yang nyata dalam putusan kasasi yang dibuat majelis kasasi yang dipimpin Bagir Manan, waktu itu Ketua MA. ”Di tingkat kasasi, Sudjiono Timan dihukum karena terbukti melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Namun, bukan PMH formal (melanggar peraturan perundang-
undangan), melainkan PMH material, yaitu melanggar asas kepatutan,” kata Suhadi, Kamis (22/8), di Jakarta.

Suhadi mengatakan, PMH secara material oleh putusan Mahkamah Konstitusi pada 25 Juli 2006 sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak boleh digunakan. ”Itu menjadi salah satu pertimbangan majelis,” ujarnya.

Selain itu, kata Suhadi, majelis PK juga mempertimbangkan kerugian negara. Di dalam putusan kasasi, unsur kerugian negara mengacu pada putusan judex factie atau Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Padahal, putusan PN Jaksel menyatakan perbuatan yang didakwakan tergolong perbuatan perdata. Mengenai kerugian, belum bisa dikalkulasikan.

Selain menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara, majelis kasasi juga menghukum Sudjiono membayar denda Rp 50 juta dan pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 369 miliar. Sudjiono dinyatakan terbukti bersalah secara bersama-sama melakukan korupsi yang diduga merugikan keuangan negara lebih dari Rp 2 triliun.

Putusan kasasi MA itu membatalkan putusan PN Jaksel pada 25 November 2002 yang membebaskan Sudjiono dari tuntutan hukum karena dinilai ontslag van alle rechtsvervolging (lepas dari segala tuntutan hukum karena perbuatannya bukan merupakan tindak pidana) (Kompas, 5 Desember 2004).

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Untung Setia Arimuladi mengatakan, kejaksaan belum dapat mengambil sikap atas putusan majelis PK tersebut. ”Hingga Kamis sore, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan belum mengetahui adanya putusan itu,” ujarnya.

Tak konsisten

Ahli pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, dan peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, secara terpisah, mempertanyakan keputusan majelis PK menggunakan putusan MK pada 26 Juli 2006 yang mencabut penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ayat itu menyatakan, selain formil, PMH juga materiil. Artinya, meski tidak diatur dalam perundang-undangan, jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial di masyarakat, perbuatan itu dapat dipidana.

Menurut Akhiar, putusan MK tersebut oleh MA digunakan secara tidak seragam. Hingga kini, masih banyak putusan yang dijatuhkan dengan mendasarkan adanya PMH secara materiil. Dalam beberapa kasus, PMH secara materiil itu masih dianut MA.

Oleh karena itu, menurut Febri dan Akhiar, pemakaian putusan MK tersebut bisa diperdebatkan. ”Bisa dipersoalkan kapan putusan itu bisa digunakan. Pada prinsipnya tidak boleh berlaku surut,” ujar Akhiar.

Anggota Badan Pengurus ICW, Emerson Yuntho, menyarankan Ketua MA, Bagian Pengawasan MA, serta Komisi Yudisial memeriksa majelis hakim yang menjatuhkan vonis bebas terhadap Sudjiono.

”KPK juga sebaiknya melakukan penyelidikan terkait dugaan mafia peradilan di tubuh MA, khususnya terhadap hakim-hakim agung yang membebaskan koruptor, karena dibebaskannya Sudjiono Timan pada tingkat PK merupakan musibah dan preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi,” katanya. (ANA/RYO)