KOMPAS.com
- Seperti sidang-sidang lainnya, selalu saja ada anggota majelis hakim yang membacakan putusan dengan suara kurang terdengar atau lantang. Namun, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu hingga Jumat (17-19/7/2013), suara-suara lirih dan keras itu dimaknai berbeda oleh pengunjung sidang vonis tiga pegawai PT Chevron Pacific Indonesia.

”Dua hakim ad hoc dengan lantang telah membacakan dissenting opinion dengan penuh keyakinan, sementara tiga hakim kariernya dengan malu-malu membacakan vonis,” seru pengunjung. Sindiran itu adalah buah kejengkelan para pengunjung terhadap suasana sidang.

Seperti sudah diduga sebelumnya, tiga karyawan PT Chevron Pacific Indonesia akhirnya tetap dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait dakwaan bioremediasi fiktif. Mereka adalah Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo. Ketiganya divonis dua tahun penjara.

Vonis ini seolah menegaskan kebenaran vonis sebelumnya untuk dua kontraktor Chevron, yaitu Herlan bin Ompo dan Ricksy Prematuri. Seperti sudah diduga sebelumnya, vonis ketiga karyawan Chevron ini tak akan ”mempermalukan” vonis terdahulu untuk kontraktor Chevron.

Dibandingkan dengan sidang lainnya, sidang Chevron termasuk sidang dengan tensi tinggi dan kedua kubu begitu sensitif satu sama lain. Gelagat yang tak umum diperlihatkan salah satu kubu dimaknai berbeda di belakang layar.

Majelis Hakim yang mengadili perkara ini ditengarai pengunjung begitu ”sensitif” dan dirasa berbeda karakternya ketika menangani perkara lain. Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih, misalnya, melarang fotografer mengambil gambar dari depan pengunjung sidang. Biasanya, larangan yang dikenal selama ini adalah melewati batas pagar arena sidang. Sudharmawatiningsih juga melarang kebiasaan para wartawan mencantolkan rekamannya pada pengeras suara.

Chevron sendiri telah melengkapi timnya dengan dokumentasi video, dengan juru kamera yang selalu terlihat mengambil gambar di belakang pengunjung. Mereka melengkapi diri dengan sistem pengeras suara tambahan, untuk memastikan suara lirih dari para hakim bisa terdengar saat direkam.

Karena itu, ketika vonis pekan lalu, setiap hakim karier mendapatkan giliran membacakan isi vonis, sebagian pengunjung keluar ruangan untuk memantau suara-suara lirih itu dari pengeras suara milik Chevron yang diputar di luar sidang. Mereka bergerombol di luar sidang untuk mendengarkan vonis pelantang ala kadarnya.

Kubu jaksa walau secara umum kalem-kalem menanggapi persidangan, ada juga yang ekspresif saat mendengar timnya menang dengan adanya vonis bersalah.

Di kubu terdakwa, suasananya lebih berapi-api dengan disulut kemarahan akibat kekecewaan terhadap majelis hakim. Di berbagai media sosial, penuh percakapan bernada mencemooh hakim yang hanya mengambil fakta yang mendukung dakwaan dan tuntutan jaksa.

Berbeda dengan sidang-sidang korupsi biasanya, kubu terdakwa memang selalu mendapat dukungan mencolok. Dukungan paling banyak berasal dari para karyawan Chevron di Riau yang didatangkan secara bergantian ke Jakarta. Mereka mudah dikenali dengan pin bertuliskan ”Nurani untuk Keadilan”. Gerakan ini bertujuan mendukung para terdakwa.

Karena itu, ketika para terdakwa perkara korupsi lainnya tertunduk malu dan lesu usai divonis bersalah, para terdakwa Chevron keluar dari ruang sidang dengan keyakinan tak bersalah. Di luar sidang, selalu sudah menunggu pengunjung yang mendukung.

Kasus bioremediasi ini memang penuh kontroversi karena dianggap banyak fakta persidangan yang meringankan terdakwa tak disinggung dalam pertimbangan majelis hakim, mulai dari pelaporan kasus ini yang diduga dilakukan ahli yang sakit hati hingga hakim yang dianggap telah berprasangka.

Pertimbangan logis perkara ini hanya bisa didengarkan dari pandangan para hakim yang mengajukan dissenting opinion. Mereka adalah hakim ad hoc, yaitu Sofialdi dan Slamet Subagio.

Pada prinsipnya, terdakwa dianggap melanggar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 128/2003 yang mengatur pengolahan limbah secara biologis (teknik bioremediasi). Hakim ad hoc berkeyakinan, selain para terdakwa tak melanggar aturan itu, jika melanggar pun tak bisa dijerat pidana hanya karena melanggar regulasi menteri yang bersifat internal.