"Pemerintah harus tetap bertahan dengan PP itu," ujar Saldi, dalam sebuah diskusi, di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Selasa (23/7/2013).
Ia memaparkan, UU Pemasyarakatan tidak mengatur syarat-syarat dan tata cara pemberian remisi. Oleh karena itu, keberadaan PP No 99 Tahun 2012 untuk mengatur hal itu. Selain itu, menurut Saldi, ditinjau dari asas pembentukan dan substansi, PP tersebut juga tidak melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Asas pembentukan PP tersebut memiliki tujuan yang jelas, yaitu memperketat pemberian remisi," katanya.
Saldi menilai, alasan yang mendorong penerbitan PP tersebut karena sebagian besar vonis yang dijatuhkan hakim lebih berat terhadap para pelaku korupsi "kelas teri". Sebaliknya, menurutnya, jarang sekali ada vonis yang tegas terhadap para pelaku korupsi kelas kakap. Saldi menambahkan, hal ini semakin diperparah dengan pemberian remisi terhadap para pelaku korupsi tersebut.
Desakan pencabutan PP 99 Tahun 2012 mencuat setelah terjadinya kericuhan di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Sebagian menuding, kericuhan itu sebagai puncak dari kapasitas lapas yang melebihi jumlah idealnya. Sementara Kementerian Hukum dan HAM menyatakan, ricuh Tanjung Gusta terjadi karena terhentinya aliran listrik dan air yang memicu emosi para narapidana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.