JAKARTA, KOMPAS.com
- Nama Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso kerap mewarnai pemberitaan di media massa. Politikus Partai Golkar itu menjadi salah satu unsur pimpinan DPR yang vokal menanggapi isu-isu yang tengah berkembang, terutama terkait politik, hukum, dan keamanan. Bisa dibilang, Priyo menjadi salah satu media darling. Namun, satu tahun terakhir, Priyo tak hanya menjadi subyek, tetapi juga obyek pemberitaan.

Akhir-akhir ini, Priyo menjadi buah bibir di media massa karena dianggap membantu koruptor. Bahkan, Kamis (18/7/2013), Priyo dilaporkan ke Badan Kehormatan DPR oleh sejumlah aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi. Priyo dilaporkan telah melakukan enam pelanggaran kode etik karena dianggap memfasilitasi para narapidana kasus korupsi agar memperoleh remisi.

Sebab, Ketua DPP Partai Golkar itu mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi koruptor, narapidana kasus terorisme, dan penyalahgunaan narkoba.

Priyo mengirimkan surat itu setelah menerima permohonan perlindungan hukum dan HAM dari sembilan narapidana kasus korupsi yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Mereka meminta PP No 99/2012 ditinjau ulang.

Awal Juni lalu, Priyo juga menjadi bulan-bulanan media karena kunjungannya ke LP Sukamiskin. Banyak media yang menyebut Priyo ke LP Sukamiskin untuk bertemu Fahd el Fouz, Ketua Umum Gerakan Muda Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) yang menjadi terpidana kasus suap dana penyesuaian infrastruktur daerah.

Priyo juga disebut-sebut terlibat dalam kasus dugaan korupsi dana pengadaan Al Quran. Ini setelah KPK menetapkan Sekretaris Jenderal Gema MKGR Dendy Prasetya dan ayahnya yang juga Wakil Ketua Umum MKGR, Zulkarnain Djabar, sebagai tersangka korupsi Al Quran.

Priyo disebut-sebut terlibat karena kebetulan politikus asal Trenggalek itu Ketua Umum MKGR. Namun, Priyo menganggap itu merupakan serangan dari lawan politik. ”Saya diserang dari delapan penjuru mata angin. Politik santun sudah semakin hilang. Di masa pancaroba politik ini yang ada saling cela, intrik, kampanye hitam, dan saling menjatuhkan,” katanya.

Serangan itu bukan hanya berasal dari kalangan luar Partai Golkar, melainkan juga dari sesama kader Partai Golkar. Priyo menganggap ”serangan” itu sebagai risiko politik.

Meski begitu, nyatanya Priyo kerap ”menghilang” setelah namanya disebut-sebut terlibat korupsi atau menolak diwawancara mengenai kasus-kasus tersebut. Kalau memang tak salah, kenapa harus risi?