KOMPAS.com
- Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, pekan lalu, membara. Sebanyak 18 petugas LP tak mampu membendung amukan 2.600 narapidana/tahanan yang tersulut emosi. Padamnya listrik yang mengakibatkan sulitnya pasokan air bersih diduga menjadi pemantik kerusuhan yang berakhir dengan kobaran api yang melalap habis ruang administrasi dan perkantoran penjara itu.

Peristiwa ini membuat seluruh petugas pemasyarakatan waspada tingkat tinggi. Kerusuhan dikhawatirkan menular. Apalagi ”penyakit” di hampir semua penjara sama, penghuni yang melebihi kapasitas dan jumlah petugas yang minim.

Itu pula yang menghinggapi benak Kepala LP Klas IA Porong, Surabaya, Jawa Timur, Bambang Sumardiono. Tidur tak nyenyak. Tiap saat dihinggapi pikiran ”waspada, jangan-jangan….” Telepon genggam siaga, on call 24 jam. Handy talkie (HT) pun selalu di sampingnya.

”HT itu tidur pun saya keloni supaya bisa memantau setiap percakapan antarpetugas jaga. Kalau ada apa-apa, saya langsung bisa ambil kendali dan memberi petunjuk,” ujar mantan Kepala Rutan Salemba dan Kepala LP Cipinang, Jakarta, ini, Senin (15/7/2013).

Memang kapasitas berlebih di LP Porong tak separah di Tanjung Gusta yang mencapai 100 persen. LP yang seharusnya hanya diisi 1.054 napi/tahanan itu dihuni 2.000 orang. Di Porong, ia biasa menjaga 1.600 napi/tahanan (angka rata-rata) dengan petugas 14 orang (untuk satu sesi penjagaan).

Petugas itu disebar ke seluruh penjuru LP, baik di blok, pos menara, pintu-pintu penghubung, dan pintu utama. Yang paling menderita adalah petugas keamanan di blok. Satu petugas harus bertanggung jawab terhadap seluruh penghuni blok yang mencapai 400 orang. Tanpa senjata. Senjata hanya dibawa petugas di pos menara dan pintu utama.

Hal serupa pernah dialami Akbar Hadi Prabowo dari Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM saat menjadi Kepala Rutan Rangkas Bitung. Susah tidur, ungkapnya. Ia harus mewaspadai jam-jam rawan, yaitu pukul 02.00-04.00 ketika petugas jaga lengah karena mengantuk.

Pendekatan keamanan masih menjadi fokus utama petugas LP. Mencegah kerusuhan, membuat napi/tahanan tertib. Sebab, begitu rusuh, sangat tipis kemungkinan petugas mampu mengatasinya. Jumlah petugas per shift relatif kecil. Akbar mencontohkan, kondisi Rutan Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur.

Dengan penghuni sekitar 450 orang, hanya terdapat empat petugas untuk satu sesi pengamanan. ”Pernah terjadi salah satu petugas harus menjalani perawatan di rumah sakit, yang tersisa hanya tiga petugas untuk menjaga 450 orang. Kalau sudah begini, kami petugas LP ini hanya bisa berdoa, berharap tak terjadi apa-apa,” ujar Akbar.

Manajemen ”doa”. Itulah ungkapan Akbar untuk menggambarkan bagaimana pengamanan itu dilakukan, khususnya untuk petugas-petugas di LP yang kelebihan penghuni. Situasi seperti itu jelas memengaruhi kenyamanan, baik fisik maupun psikologis warga binaan pemasyarakatan. Ruang gerak jadi terbatas, potensi untuk saling ”bersinggungan” sangat besar. Setiap persoalan bisa memicu konflik yang lebih besar.

Potensi konflik serupa sebenarnya ada di hampir semua LP/rutan. Dari total 457 LP/rutan, hanya 12,9 persen atau 59 LP/rutan yang jumlah penghuninya di bawah kapasitas/daya tampung LP. Sementara di 398 LP/rutan, napi harus hidup berdesak-desakan dengan napi lainnya.

Jumlah napi dan tahanan di dalam penjara saat ini mencapai 162.025 orang. Padahal, kapasitas 456 LP/rutan hanya 108.160 orang. Artinya, terdapat kelebihan penghuni 53.865 orang atau sekitar 50 persen. Jumlah pegawai Ditjen Pemasyarakatan sekitar 29.000 orang. Jumlah itu termasuk dirjen, pejabat eselon II, III, dan IV di Ditjen Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Kemenkumham, serta petugas di LP/rutan bagian administrasi, kesehatan, dan sektor-sektor pendukung lainnya.

Menambah personel keamanan bukan hal mudah. Ditjen Pemasyarakatan tak berwenang merekrut pegawai, bahkan menentukan anggaran. Semua di bawah Setjen Kemenkumham.

Keterbatasan jumlah petugas itu menjadi masalah. Jumlah warga binaan yang melebihi kapasitas pun menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Bambang punya trik untuk menjaga kondisi LP-nya aman terkendali. Ia mengedepankan pendekatan personal, memperluas jaringannya ke napi. Ia sering turun ke blok-blok tahanan untuk sekadar berbicara dengan napi sehingga terjalin hubungan emosi yang baik dengan mereka.

Menurut Wakil Direktur Center for Detention Studies Gatot Goei, harus ada pembenahan struktur organisasi di LP. Jika tidak, kerusuhan di LP akan terus terjadi. ”Itulah persoalan di depan mata yang seharusnya mudah diatasi Menteri dan Wakil Menteri,” katanya.

”Sejak tahun 2008, kami dan kelompok masyarakat sipil sudah mengusulkan reformasi struktur organisasi dalam cetak biru pelaksanaan pembaruan sistem pemasyarakatan, tetapi tidak dijalankan,” ujar Gatot. (Susana Rita/Haryo Damardono)