JAKARTA, KOMPAS.com
- Upaya sebagian kalangan yang meminta agar Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dievaluasi jangan sampai ditunggangi koruptor untuk kembali memperoleh remisi secara mudah. Apalagi, dengan dalih kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, yang diduga dipicu oleh PP tersebut.

PP No 99/2012 itu mengenai pengetatan pemberian remisi atau pemotongan masa tahanan terhadap narapidana antara lain kasus korupsi.

”Kalau PP No 99/ 2012 dibatalkan, yang diuntungkan terpidana koruptor. Sudah menjadi tren vonis tindak pidana korupsi rendah dan di lembaga pemasyarakatan dapat potongan masa tahanan pula,” kata peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, di Jakarta, Minggu (14/7/2013).

Febri mengatakan, kerusuhan di LP Tanjung Gusta jangan dijadikan alasan agar koruptor bisa kembali dengan mudah mendapatkan remisi. Menurut Febri, jika PP No 99/2012 jadi pemicu kerusuhan LP, tentu kerusuhan LP yang pertama terjadi di LP Sukamiskin, yang jadi LP khusus untuk narapidana korupsi.

Secara terpisah, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menyatakan tak akan mundur terkait dengan tudingan sejumlah kalangan yang menimpakan kesalahan terjadinya kerusuhan LP Tanjung Gusta karena terbitnya PP No 99/2012 kepada dirinya.

”Untuk perjuangan melawan korupsi, narkoba, teroris, dan mafia lainnya, pilihannya hanya satu. Terus maju, pantang menyerah. Karena menyerah berarti kalah. Padahal, dalam perjuangan melawan mafia itu, kita harus menang. Kalah bukan pilihan,” kata Denny.

Namun, menjelang hari raya Idul Fitri dan peringatan 17 Agustus mendatang, narapidana kasus korupsi, narkotika, terorisme, dan lainnya dipastikan tetap mendapatkan remisi. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin telah mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa PP No 99/2012 berlaku untuk napi yang putusannya berkekuatan hukum tetap (inkracht) sejak 12 November 2012.

Akbar Hadi Prabowo dari Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Minggu, memastikan ada remisi untuk narapidana yang berkelakuan baik, termasuk napi korupsi, narkotika (bandar), terorisme, napi kejahatan HAM berat dan kejahatan transnasional. Hal itu sesuai surat edaran Menkumham Amir Syamsuddin Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013.

Surat edaran satu paragraf itu menyatakan pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat kepada pelaku tindak pidana terorisme, narkotika, dan precursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, serta kejahatan transnasional seperti diatur dalam PP No 99/2012 diberlakukan bagi narapidana yang putusan pidananya berkekuatan hukum tetap setelah 12 November 2012. Surat itu dikeluarkan pada 12 Juli 2012 atau sehari setelah kerusuhan LP Tanjung Gusta, 1 Juli petang.

Erwin Natosmal dari Indonesian Legal Roundtable sangat menyayangkan tindakan Menkumham itu.

”Seharusnya pemerintah menunggu saja putusan uji materi dari Mahkamah Agung dan tak perlu melunak. Negara sudah kalah terhadap tekanan, bahkan sebelum proses hukum dilakukan. Jangan sampai langkah ini menjadi amunisi yang digunakan untuk melawan pemerintah sendiri,” ujarnya.

Sebelumnya, sejumlah narapidana korupsi (Rebino, Abd Hamid, Jumanto, dan kawan-kawan) didampingi Yusril Ihza Mahendra mengajukan uji materi ke MA terkait Pasal 34 A PP No 99/ 2012. Pasal itu mengatur napi korupsi dan kasus tindak pidana khusus lainnya akan diberikan remisi jika bersedia bekerja sama dengan penegak hukum membongkar kasusnya atau menjadi justice collaborator serta sudah membayar denda dan uang pengganti.

Narapidana itu juga mengambil langkah politis dengan meminta perlindungan dari DPR. Diwakili tujuh narapidana, di antaranya Hari Sabarno, Agusrin M Najamuddin, Mochtar Mohammad, 106 napi LP Sukamiskin mengirimkan surat permohonan perlindungan hukum kepada Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR Bidang Polkam. Priyo pun meneruskan laporan itu kepada Presiden pada 22 Mei 2013.

Emerson Yuntho dari ICW menilai Priyo telah ”memfasilitasi” keinginan koruptor untuk menghapus PP No 99/2012. Tindakan itu memalukan dan merusak citra parlemen, serta kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. (BIL/ANA)