Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menilik Penetapan Awal Ramadhan di Indonesia

Kompas.com - 11/07/2013, 08:49 WIB

Muh. Ma'rufin Sudibyo*

Dalam khasanah penentuan awal Ramadhan dan hari raya di Indonesia, terdapat dua organisasi kemasyarakatan yang menonjol.

Pertama adalah Muhammadiyah, yang selalu diidentikkan sebagai penjaga gawang hisab, meski sesungguhnya hisab yang diadopsi Muhammadiyah hanyalah satu dari 26 sistem hisab yang berkembang di Indonesia.

Ormas kedua adalah Nahdlatul ‘Ulama (NU), yang kerap diposisikan sebagai pengguna rukyat, meski sesungguhnya hisab pun dipakai, terutama sebagai basis kalender dan panduan rukyat. Bahkan, sebagian dari 26 sistem hisab di Indonesia digunakan di lingkungan NU.

Tanpa menafikan ormas lainnya seperti Persatuan Islam, al-Washliyah, Dewan Dakwah Islam Indonesia dan sebagainya, mayoritas Umat Islam Indonesia berpayung di bawah NU dan Muhammadiyah. Sehingga, perbedaan di antara keduanya secara otomatis akan terpersepsikan sebagai perbedaan di kalangan umat secara umum.

Selain kedua ormas itu, terdapat juga kelompok-kelompok lain yang secara kuantitatif tergolong kecil, tetapi selalu berkibar seiring kerapnya mereka berbeda.

Misalnya, jamaah an-Nadzir (Sulawesi Selatan) yang menggunakan rukyat ‘unik’ karena alih-alih menyasar hilal di langit, kelompok ini mengukur paras air laut dalam pasang-surut. Argumennya, pasang-surut berhubungan dengan Bulan dan Matahari, di mana pasang naik terbesar terjadi saat Bulan berkonjungsi dan purnama. Hubungan tersebut memang benar dalam kacamata astronomis, namun belum lengkap karena tak mempertimbangkan faktor-faktor seperti gaya gesek air laut terhadap dasar laut dan rotasi Bumi yang membuat puncak pasang naik selalu terlambat dibanding konjungsi atau purnama. Faktanya, pada pesisir yang berhadapan dengan perairan laut dangkal, puncak pasang naik terjadi rata-rata 8 jam pasca konjungsi. Sehingga ‘pembacaan’ paras laut tak serta merta bisa dikaitkan dengan konjungsi Bulan.

Di Pulau Sumatera terdapat jamaah tarekat Naqsyabandiyah, Padang (Sumatra Barat), yang sering mendului dalam berpuasa/berhari raya. Tahun ini, mereka mulai berpuasa pada 7 Juli 2013. Yang mendasarinya adalah hisab al-Khumusiyah (putaran lima). Di beberapa penjuru Pulau Jawa dan Sumatera juga bertebaran jamaah Aboge yang mengadopsi kalender Jawa Islam (Sultan Agungan) dan juga kerap berbeda.

Baik al-Khumusiyah maupun Aboge merupakan hisab ‘urfi (tabular), yakni sistem perhitungan sederhana yang mematok umur setiap bulan kalender adalah tetap dan bernilai 30 atau 29 hari. Misalnya, Muharram yang dipatok 30 hari, sementara Shaffar 29 hari, dan seterusnya. Dengan pola ini, maka Ramadhan selalu berumur 30 hari, bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bulan Ramadhan bisa 29 hari dan bisa juga 30 hari.

Hisab ‘urfi ditelurkan cendekiawan besar al-Biruni berabad-abad silam sebagai bagian dari sistem istilahi yang mengatur dalam tiap 30 tahun Hijriah terdapat 11 tahun kabisat (berumur 355 hari). Sementara, sisanya adalah tahun basitah/biasa (berumur 354 hari). Dasarnya adalah periode sinodis Bulan rata-rata, yang ditetapkan sebesar 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik. Meski cara perhitungannya sederhana dan relatif mudah diaplikasikan, al-Biruni sendiri menekankan hisab ‘urfi hanyalah alat bantu semata karena perhitungan kalender dan penentuan awal bulan kalender Hijriah tetap harus mengacu pada pergerakan Bulan senyatanya (bukan rata-rata), yang menjadi ranah hisab haqiqi.

Atas dasar inilah al-Khumusiyah dan Aboge tak memiliki landasan kukuh. Apalagi, dalam kalender Jawa Islam, yang diberlakukan Sultan Agung Hanyakrakusuma sejak 1043 H atau 1555 Saka (1633) terdapat aturan bahwa nama periode berubah setiap 120 tahun sekali untuk mengompensasi kelebihan 1 hari dibanding dengan hisab ‘urfi al-Biruni. Dan periode Aboge telah berakhir pada 1866 Saka bertepatan dengan 1354 H atau 1935 M. Sehingga, pada saat ini, periode Aboge sudah kedaluwarsa dan tak bisa diterapkan lagi.

Lembaga dan fatwa

Beraneka ragamnya sistem hisab dan cara penentuan awal bulan kalender Hijriah di Indonesia telah menarik perhatian sejak awal kemerdekaan negeri ini. Tepatnya, sejak Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) berdiri.

Selalu muncul upaya penyatuan kalender Hijriah sehingga setiap komponen dan lapisan Umat Islam di Indonesia diharapkan dapat berpuasa Ramadhan dan berhari raya pada saat yang sama tanpa terkecuali, terlepas apakah menggunakan hisab ataupun rukyat. Hal ini mengingat puasa Ramadhan dan hari raya bukanlah sekedar ibadah personal, namun juga terkait kepentingan umum.

Upaya penyatuan yang lebih serius diwujudkan dengan pembentukan teamwork bernama Lembaga Hisab Rukyat (LHR) pada 1972, yang kini bermetamorfosis menjadi Badan Hisab dan Rukyat (BHR). Semula, BHR berada di lingkungan Peradilan Agama. Namun, sejak UU No 3/2006 diberlakukan, Peradilan Agama diharuskan beralih ke Mahkamah Agung, maka BHR berkedudukan di bawah Dirjen Bimas Islam khususnya Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

    MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

    Nasional
    Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

    Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

    Nasional
    Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

    Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

    Nasional
    Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

    Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

    Nasional
    Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

    Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

    Nasional
    Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Nasional
    Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

    Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

    Nasional
    JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

    JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

    Nasional
    Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

    Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

    Nasional
    Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

    Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

    Nasional
    Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

    Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

    Nasional
    Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

    Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

    Nasional
    BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

    BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

    Nasional
    Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

    Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

    Nasional
    Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

    Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com