Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PPP: "Presidential Threshold" Inkonstitusional

Kompas.com - 10/07/2013, 17:00 WIB
Indra Akuntono

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) adalah inkonstitusional. Menurutnya, berapa pun angka yang ditentukan tak sejalan dengan hakikat Pasal 6A dalam UUD yang menegaskan bahwa partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan calon presiden atau wakil presidennya.

"Pasal 6A UUD sama sekali tak mensyaratkan adanya dukungan minimal berupa perolehan kursi atau suara. Maka, UU Pilpres seharusnya mampu menangkap jiwa dari norma yang ada di konstitusi terkait pemilihan presiden," kata Lukman dalam pernyataan tertulis yang diterima Rabu (10/7/2013).

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini menegaskan, argumen yang menyatakan bahwa penurunan atau penghilangan ambang batas itu bisa mengusik posisi Presiden di DPR adalah cara pikir yang tak mendasar. Baginya, penetapan syarat minimal perolehan kursi atau suara bagi partai politik untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden adalah bentuk pemasungan hak partai politik dan hak masyarakat umum yang menghendaki adanya alternatif calon presiden.

"Kalau itu masalahnya (ambang batas), kenapa tidak sekalian saja ambang batasnya di atas 50 persen? Itu baru benar-benar aman. Tapi, apakah kita mau kembali terapkan calon tunggal," ujarnya.

Untuk diketahui, revisi UU Pilpres terus menuai tarik ulur. Dalam rapat pleno Badan Legislasi DPR yang digelar pada Selasa (9/7/2013) kemarin, tidak ada keputusan apa pun apakah revisi UU Pilpres ini dilanjutkan atau dihentikan.

Ketua Baleg DPR Ignatius Mulyono mengatakan, setelah mendengarkan pandangan sembilan fraksi, parlemen tidak mencapai kata sepakat. Ada lima fraksi yang menolak perubahan UU Pilpres, yakni Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Sementara fraksi yang mendukung revisi UU Pilpres ialah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Hanura.

Mulyono menuturkan, pembahasan akan dilanjutkan pada masa sidang berikutnya setelah masa reses selama satu bulan yang dimulai pada Jumat (11/7/2013) mendatang. Usulan Mulyono ini sempat mendapat kritik dari partai yang mendukung adanya revisi. Sementara itu, Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusumah menilai perlunya waktu pendalaman supaya partai-partai kembali melakukan lobi sehingga rancangan UU Pilpres belum bisa dikatakan ditarik atau dihentikan pembahasannya.

Adapun pembahasan revisi UU Pilpres ini sudah berkali-kali ditunda lantaran persoalan satu pasal, yakni pada Pasal 9 UU Pilpres. Di dalam pasal itu disebutkan bahwa pasangan capres dan cawapres hanya bisa diajukan partai politik dan gabungan partai politik yang memiliki 20 persen kursi di parlemen dan 25 persen suara nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Nasional
Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Nasional
Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Nasional
Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com