KOMPAS.com
 — Di luar dugaan, dalam nota keberatan yang disampaikan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq atas dakwaan jaksa penuntut umum, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera dan anggota DPR itu tak banyak membantah secara keras keterlibatannya dalam pengajuan kuota impor daging.

Luthfi melalui penasihat hukumnya lebih mengkritik cara kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama dalam hal menggiring opini di media massa. Padahal, banyak drama dalam sidang terdakwa dari PT Indoguna Utama, perusahaan yang dianggap menyuap Luthfi, yang  mencoba menutupi peran Luthfi dalam perkara suap tersebut.

Ahmad Fathanah, makelar proyek yang juga sebagai tokoh kunci dalam kasus ini, misalnya, pernah dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dua direktur PT Indoguna, Arya Abdi Effendy dan Juard Effendi. Dalam kesaksiannya, Fathanah mengungkapkan, dirinya tak pernah menjanjikan pemberian uang Rp 1,3 miliar kepada Luthfi.

Fathanah juga mengatakan, segala percakapan dengan Luthfi terkait uang pelicin merupakan candaan belaka. ”Itu hanya dikatakan Ustaz Luthfi sambil bercanda. Beliau, kan, tak percaya dengan hal-hal seperti itu,” kata Fathanah.

Perkataan Fathanah itu terkait materi pembicaraan melalui telepon antara dirinya dan Luthfi soal fee Rp 5.000 per kilogram jika kuota yang diinginkan PT Indoguna nanti lolos. Secara implisit, Fathanah mencoba membujuk Luthfi bahwa ada imbalan besar menanti jika kuota dapat  diupayakan. Tak tanggung-tanggung, total fee mencapai Rp 40 miliar untuk kuota 8.000 ton.

Luthfi dalam telepon dengan nada ogah-ogahan, seolah baru bangun tidur, menjawab kenapa tidak ajukan 10.000 ton saja biar mendapat Rp 50 miliar. Perkataan inilah yang digunakan KPK dan juga diyakini hakim bahwa Luthfi memiliki motif dalam pengajuan kuota dan benar-benar akan mengajukannya.

Jika perkataan Luthfi benar-benar bercanda, maka inilah kesialan pertama Luthfi yang mengantarkannya harus masuk bui. Namun, setidaknya Luthfi akan belajar bahwa anjuran yang didendangkan dalam lagu ”Tombo Ati”, yaitu wong kang shaleh kumpulono (berkumpulah dengan orang saleh), benar adanya.

Lirik lagu itu mengingatkan pentingnya menjaga pergaulan, memagari diri dari pengaruh negatif, dan menganjurkan bersahabat dengan orang-orang saleh. Pergaulan dengan orang-orang yang berani dan jujur memang dianjurkan.

Mustahil Luthfi tak tahu perilaku Fathanah karena mereka sudah bersahabat sejak lama ketika sama-sama belajar di Arab Saudi. Mereka juga pernah bekerja sama dalam mendirikan perusahaan, dan Luthfi pernah dikhianati Fathanah yang memalsukan tanda tangannya.

Kasus pemalsuan tanda tangan itu akhirnya masuk ke pengadilan; dan dalam dakwaan jaksa penuntut umum, Fathanah sempat dihukum.

Tak hanya kasus itu, Fathanah dalam dakwaan jaksa juga disebutkan pernah dihukum di luar negeri karena menyelundupkan orang. Inilah kesialan kedua bagi Luthfi yang tetap bergaul dengan orang-orang yang tak dianjurkan dalam Al Quran.

Alasan Luthfi untuk ikut terlibat dalam mengatasi krisis daging sebenarnya cukup logis, yaitu sebagai Presiden PKS, ia merasa malu karena ada peredaran daging celeng dan daging tikus di pasaran.

”Padahal, yang menjabat Menteri Pertanian adalah dari orang PKS,” kata Menteri Pertanian Suswono ketika dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dua direktur PT Indoguna. Suswono merupakan menteri yang juga kader PKS. Ia bahkan menjabat sebagai anggota Majelis Syura PKS.

Dalam sidang-sidang terdakwa dari PT Indoguna digambarkan sosok Suswono yang kebal terhadap lobi-lobi Fathanah ataupun Luthfi. Dalam pertemuan di Medan, Luthfi memperkenalkan Direktur Utama PT Indoguna Maria Elisabeth Liman yang membawa data krisis daging kepada Suswono.

Namun, Suswono bersikukuh, data krisis daging yang dimiliki Elisabeth tidak valid. Inilah kesialan ketiga bagi Luthfi. Kolega satu partai pun tak bisa ia bujuk untuk segera menuntaskan krisis daging.

Tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Luthfi sebenarnya terjadi pada rentang 2012 hingga 2013 ketika krisis daging melanda negeri ini. Namun, kesialan keempat mengikuti Luthfi. Akhirnya, ia juga dijerat untuk tindak pidana pencucian uang yang rentang tahunnya jauh sebelum tindak pidana korupsi.

Itu pun uang yang dituduhkan diperuntukkan bagi Luthfi tak pernah ia terima. Baik uang Rp 300 juta maupun Rp 1 miliar tak pernah sampai kepada Luthfi. Inilah kesialan kelima bagi Luthfi.

Majelis hakim dalam putusan vonis dua bos PT Indoguna mengatakan tak peduli apakah uang itu sudah sampai kepada Luthfi atau belum. Hal yang terpenting, perbuatan Luthfi telah memiliki motif, menguntungkan PT Indoguna, dan Luthfi sudah melakukan apa yang diinginkan penyuap untuk berusaha meloloskan kuota impor. Sial betul Luthfi akibat pergaulannya dengan para makelar proyek.