Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Tanpa Keputusan

Kompas.com - 19/06/2013, 10:11 WIB
Oleh Donny Gahral Adian

Perdebatan alot di parlemen akhirnya usai sudah. Kenaikan harga BBM, mau tidak mau, harus diterima sebagai keputusan politik. Kontroversi memang masih beredar di udara politik Republik ini. Namun, apa pun, keputusan sudah dijatuhkan. Suka-tidak suka, pemerintah akan segera menaikkan harga BBM.

Di balik sengkarut yang bertele-tele soal kesehatan, efisiensi, dan postur APBN, terselip sebuah pertanyaan penting. Apakah politik sungguh-sungguh hadir saat rapat paripurna di parlemen beberapa waktu lalu? Sungguhkah ada keputusan politik yang dijatuhkan? Atau, rapat tersebut justru membuktikan betapa politik sudah disandera sedemikian rupa oleh ekonomi.

Manajerialisasi politik

Ekonomi sejatinya bukan penghuni ruang publik. Dia adalah oikos (rumah tangga) dan nomos (hukum). Ekonomi tak lain adalah aturan main dalam mengelola rumah tangga. Dia sepenuhnya domestik. Politik jauh lebih mulia karena bertempat di ruang publik yang heterogen, ganjil, dan tak terduga. Politik adalah seni hidup bersama di ruang publik, lengkap dengan segala kompleksitasnya. Keputusan politik pun jauh lebih rumit dan sublim ketimbang ekonomi. Keputusan politik tidak semata soal alokasi belanja rumah tangga. Keputusan politik merupakan artikulasi keadilan dalam situasi yang dilematis, jamak, dan tak tuntas.

Apa boleh dikata, modernitas membuat ekonomi menerobos masuk ke domain politik. Sebab, akal modernitas bukan akal sehat, melainkan akal alat. Itu berbicara melulu soal efisiensi dalam menggapai tujuan. Sementara, tujuan sendiri tidak pernah diuji di ruang publik. Percakapan publik semata mempersoalkan efisiensi sarana untuk sebuah tujuan yang didefinisikan secara soliter.

Debat soal APBN, misalnya. APBN sejatinya adalah sarana untuk menyejahterakan rakyat berbasis keadilan sosial. Namun, perdebatan tidak pernah menyentuh soal kesejahteraan, apalagi keadilan. Perdebatan berfokus melulu pada postur anggaran, besaran subsidi, beban subsidi, kesehatan anggaran, dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Semuanya perdebatan tentang alat dan siasat belaka.

Alhasil, politik pun menjadi sangat manajerial. Manajerialisasi politik adalah fenomena modernitas yang lazim (kalau tidak bisa dibilang) banal. Kita tidak pernah lagi mendengar pidato politik. Setiap pidato kenegaraan adalah pidato ekonomi yang disepuh politik di sana-sini. Pidato seolah-olah politik.

Politik sudah direduksi sedemikian rupa menjadi perkara efisiensi. Perdebatan tentang BBM pun dipaksa berposisi hanya pada dua sudut: proefisiensi atau anti-efisiensi. Tidak lebih. Artikulasi keadilan nyaris tidak terdengar. Kalaupun terdengar, maka artikulasi keadilan hanya kosmetika untuk menutupi wajah yang sepenuhnya ekonomi. Di tangan ekonomi, politik pun menjadi sepenuhnya manajerial.

Manajerialisasi politik membuat keputusan-keputusan politik dikendalikan sepenuhnya oleh ekonomi. Ini sungguh menyalahi prinsip ekonomi positif yang meletakkan ekonomi sebagai penopang keputusan politik, bukan sebaliknya.

Ekonomi semata-mata bertugas memberikan rekomendasi teknis untuk sebuah tujuan politik tertentu. Artinya, ekonomi tidak sepatutnya masuk ke dalam perdebatan soal nilai, ideologi, atau arah etis kebijakan. Kenyataannya, ekonomi bukan sekadar mengambil alih lahan politik, bahkan menentukan bulat lonjong lahan tersebut. Politik pun dibuat gigit jari di kampungnya sendiri.

Keputusan tanpa keputusan

Tidak ada keputusan politik apa pun di rapat paripurna tentang APBN-P kemarin. Rapat itu menunjukkan betapa politisi kita bercakap dengan kosakata yang sama, kosakata ekonomi. Ekonomi adalah soal aturan (nomos) yang bergeming. Aturan mati ekonomi berbunyi: ”Jika subsidi BBM tidak dikurangi, maka APBN jebol.” Maka, mereka yang menolak pengurangan subsidi BBM berarti setuju APBN jebol.

Padahal, terlepas dari subsidi yang sebagian besar dinikmati orang kaya, kita masih bisa berdebat, apakah APBN jebol oleh subsidi atau oleh korupsi. Kita juga bisa berdebat, apakah layak negara sekaya Indonesia APBN-nya hanya Rp 1.600 triliun? Kita sibuk mempersoalkan pengeluaran, tetapi malas mendongkrak pemasukan.

Namun, apa mau dikata, aturan emas ekonomi mendominasi jalan pikiran politisi Senayan. Koalisi (yang mulai retak) pun satu suara soal aturan emas tersebut. Subsidi BBM wajib dikurangi untuk menyelamatkan APBN. Pertanyaannya, apakah menyelamatkan APBN sekonyong- konyong menyelamatkan rakyat? Siapa yang diselamatkan, APBN atau rakyat? Kita bisa berkeras bahwa APBN yang sehat akan menyejahterakan rakyat.

Masalahnya, ke mana uang hasil desubsidisasi yang pernah dilakukan selama ini? Apakah uang tersebut sungguh dipakai untuk perbaikan kesejahteraan rakyat? Atau itu sepenuhnya dipakai untuk kebijakan populis yang berdampak politik jangka pendek.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

    Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

    Nasional
    Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

    Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

    Nasional
    PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

    PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

    Nasional
    Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

    Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

    Nasional
    Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

    Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

    Nasional
    Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

    Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

    Nasional
    KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

    KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

    Nasional
    Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

    Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

    Nasional
    Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

    Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

    Nasional
    Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

    Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

    Nasional
    KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

    KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

    Nasional
    Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

    Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

    Nasional
    PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

    PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

    Nasional
    Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

    Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

    Nasional
    Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

    Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com