Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dugaan Korupsi Sumber Daya Alam Dilaporkan ke KPK

Kompas.com - 14/06/2013, 16:54 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Koalisi Anti Mafia Hutan melaporkan lima kasus yang terindikasi tindak pidana korupsi pada sektor sumber daya alam ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (14/6/2013). Laporan tersebut merupakan hasil investigasi yang dilakukan koalisi selama enam bulan di tiga provinsi, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan.

"Tadi, kami sudah bertemu dengan pimpinan KPK, Pak Busyro Muqoddas dan Zulkarnain. Selain soal lima kasus yang kita laporkan, hari ini juga kita menyampaikan beberapa modus lain korupsi sumber daya alam," kata perwakilan koalisi sekaligus Eksekutif Kampanye Hutan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta. Koalisi terdiri dari Walhi Sumsel, Indonesia Corruption Watch, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan Sawit Watch.

Menurut Zenzi, lima kasus yang dilaporkan Koalisi ini terdiri dari satu kasus di sektor pertambangan, tiga kasus pada sektor perkebunan, dan satu kasus pada sektor kehutanan. Modus yang ditemukan, menurut Zenzi, pada umumnya adalah penyalahgunaan wewenang dan penyuapan.

Lebih jauh dia menguraikan, kelima kasus tersebut adalah kasus yang diduga melibatkan PTPN VII (Cinta Manis) di Sumatera Selatan yang berpotensi merugikan keuangan negara senilai Rp 4,8 miliar, kasus pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) di kawasan Hutan Rawa Gambut Merang-Kepayang yang berpotensi merugikan negara Rp 1,7 triliun, kasus terkait penerbitan izin usaha pertambangan di kota Samarinda senilai Rp 4 miliar, kasus alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi perkebunan sawit di Kabupaten Kapuas Hulu yang berpotensi menyebabkan kerugian negara Rp 108 miliar, serta kasus penerbitan izin IUPHHK-HTI di Kalimantan Barat yang berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 51,5 miliar.

"Berdasarkan perhitungan kerugian negara yang dikakukan oleh koalisi, sekurangnya terjadi potensi kerugian negara mencapai Rp 2,92 triliun," tambah Zenzi.

Mengenai aktor yang bertanggung jawab atas lima kasus tersebut, Zenzi enggan menyebut namanya. Dia hanya mengungkapkan kalau aktor yang terlibat terdiri dari pejabat di bawah gubernur dan pihak pengusaha. Namun, dalam selebaran yang dibagikan, disebutkan ada menteri atau mantan menteri yang diduga terlibat.

"Tercatat 16 aktor yang terindikasi terlibat dengan latar belakang menteri, mantan menteri, kepala daerah, mantan kepala daerah, pejabat kementerian, pejabat di pemerintah daerah, dan direktur perusahaan," bunyi selebaran tersebut.

Saat dikonfirmasi, Zenzi mengungkapkan kalau pihaknya bukan menemukan keterlibatan menteri, tetapi memperingati menteri agar lebih berhati-hati dalam mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Zenzi juga mengatakan, pimpinan KPK merespons baik laporan koalisi. Pimpinan KPK, katanya, akan meneruskan laporan tersebut ke bagian pengaduan masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Prabowo Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Prabowo Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com