Jakarta, Kompas -
Presiden juga diingatkan untuk tak melepaskan penanganan masalah pelanggaran kebebasan beragama kepada pemerintah daerah. Undang-Undang Pemerintah Daerah mengamanatkan, urusan agama menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Hal itu mengemuka dalam penyampaian aspirasi secara damai dari Sobat Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama, Berkeyakinan, dan Beribadah
Surat Sobat KBB itu disokong sejumlah organisasi. Mereka, antara lain, The Wahid Institute, Setara Institute, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Human Rights Working Group, Indonesian Legal Research Center, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, serta Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Jakarta.
Pendeta Palti dari Gereja
Perwakilan dari Syiah dan Ahamadiyah juga mengemukakan kekerasan yang mereka terima dari kelompok-kelompok intoleran. Padahal, jauh sebelum Indonesia merdeka, kedua kelompok ini bisa hidup berdampingan dalam menjalankan ibadah agamanya. Lebih dari itu, keduanya juga berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan.
”Presiden sebaiknya fokus memperbaiki kebebasan beragama di Tanah Air. Presiden perlu lebih membuka diri terhadap kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama di sejumlah daerah dan lebih serius melindungi kaum minoritas,” ujar Koordinator Kontras Haris Azhar.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Elsam Indri D Saptaningrum mengatakan, rencana pemberian penghargaan untuk Presiden tersebut rentan menjadi pencitraan di mata dunia internasional. Padahal, di dalam negeri, Presiden dikenal lemah dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Penghargaan World Statesman diberikan sebagai pengakuan atas kepemimpinan Presiden dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi serta penerimaan keberagaman iman dan kepercayaan.
Terkait penghargaan dari