Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Budaya Malu Menghilang, Korupsi Dianggap sebagai Kewajaran

Kompas.com - 30/04/2013, 02:26 WIB

Pengantar Redaksi

Yudi Latif tak tertarik untuk masuk ke dalam kelompok partai politik. Tawaran untuk memimpin universitas pun ditolaknya dengan alasan jabatan struktural akan membuatnya menjadi tidak bertanggung jawab. Ayah empat anak ini memilih berdiskusi atau menjadi narasumber daripada menerima tawaran untuk memimpin universitas.

Kemampuan pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, ini dalam menggabungkan ilmu politik, sejarah, filsafat, dan sastra dalam melihat suatu fenomena akan mengingatkan kita pada sosok Nurcholish Madjid.

Yudi telah menghasilkan puluhan buku tentang Islam, kebangsaan dan politik. Beberapa buku karya Yudi menjadi rujukan di kampus dan pelatihan yang diselenggarakan lembaga pemerintah. Yudi juga menjadi kolumnis di beberapa media massa.

Kini, bersama dengan timnya, Yudi sedang menyusun buku tentang Pancasila untuk pelajar sekolah dasar. Buku itu akan menyajikan informasi mengenai keteladanan tokoh-tokoh Indonesia yang sesuai dengan lima sila dalam Pancasila. Selama ini, menurut dia, orang-orang Indonesia kehilangan referensi tokoh dari bangsanya sendiri dan lebih sering langsung melompat ke tokoh-tokoh negara lain.

Selain menjadi Direktur Eksekutif Reform Institute, Yudi juga menjadi Ketua Harian Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila. Dia pun sibuk berkeliling Indonesia untuk menjadi narasumber dan dosen tamu.

***

Kang Yudi, setahu saya Putra Sunda terhebat sepanjang sejarah itu Ir Djuanda, itu hampir 60 tahun silam Kang. Kang Yudi Latif sebenarnya merupakan salah satu sosok baru muda cerdas di Jawa Barat, tidakkah Akang memilih atau memikirkan suatu saat untuk memimpin Tanah Priangan ini? (Naufal R, Institut Teknologi Bandung)

Saya seperti mengikuti bayangan khitah Djuanda. Tidak menjadi anggota partai politik, tetapi punya kesadaran dan komitmen politik. Saya punya keterpautan emansipatoris dengan Tatar- Sunda, sebagai wilayah yang tertinggal, sehingga terlibat dalam Badan Musyawarah Masyarakat Sunda.

Di sini lain, riwayat pendidikan saya yang bersifat lintas batas (Sukabumi, Ponorogo, Bandung, Australia), ditambah dengan pergaulan dan penjelajahan hidup yang bersifat lintas kultural, membuat saya cenderung kosmopolitan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com