JAKARTA, KOMPAS.com -- KPU menunjukkan ketidakcermatan dalam menyusun peraturan kampanye Pemilu 2014. Namun, DPR dan pemerintah pun ceroboh dengan tetap menyertakan pasal yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini dan Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow secara terpisah, Kamis (17/4/2013) di Jakarta.
Peraturan KPU nomor 1/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014 menyebutkan media massa cetak, daring (online), elektronik, dan lembaga penyiaran lain dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak peserta pemilu atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu.
Untuk itu, KPI dan Dewan Pers mengawasi media massa tersebut. Pelanggaran akan dikenai sanksi berupa teguran tertulis, penghentian sementara mata acara yang bermasalah, pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu, dan denda. Selain itu, sanksi bisa berupa pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu untuk waktu tertentu, dan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.
Pasal-pasal ini sebelumnya dicantumkan dalam UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Namun, aturan ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi dalam gugatan nomor 32/PUU-VI/2008 untuk klausul di UU 42/2008 dan 99/PUU-VII/2009 untuk klausul di UU 10/2008. Pembatalan klausul sepanjang kata "berita".
Sanksi juga dianggap bertentangan dengan konstitusi. Namun, dalam UU 8/2012, larangan pemberitaan, kampanye, iklan peserta Pemilu di masa tenang tetap ada. Hal ini dicantumkan pada pasal 91 ayat 5. Bedanya, tidak ada sanksi atas larangan ini. "DPR dan Pemerintah sama teledornya. Meski norma yang dibatalkan terkandung dalam UU 42/2008 tentang Pilpres, mestinya norma yang sama tidak boleh lagi digunakan dalam UU 8/2012 Pemilu Legislatif," tutur Titi.
Karena itu, Titi menilai ketentuan tersebut otomatis tidak memiliki ketentuan mengikat. Sebab, bunyi pasal tersebut sama persis dengan bunyi pasal yang dinilai inkonstitusional dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Menurut Titi, putusan MK nomor 32/PUU-VI/2008, 98/PUU-VII/2009, dan 99/PUU-VII/2009 bisa menjadi rujukan untuk tidak memberlakukan ketentuan pasal-pasal tersebut. Namun sebagai koreksi formal, akan lebih kuat lagi jika ada yang menggugat pasal 91 UU 8/2012 ke MK.
Selain itu, Jeirry meminta KPU tidak sekadar menganggap ini sebagai kesalahan teknis semata. Namun, ini menunjukkan ketidakcermatan KPU. Aturan yang ketat mengontrol media massa ini juga menunjukkan kecenderungan KPU untuk menghegemoni pemangku kepentingan pemilu lainnya.
Setidaknya, sejak belum ditetapkan, konsultasi publik atas naskah peraturan KPU dilakukan. Dengan demikian, risiko kesalahan dalam penerbitan peraturan bisa diperkecil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.