JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Ramli terkait penyelidikan atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) beberapa obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Jumat (12/4/2013). Rizal memenuhi panggilan KPK sekitar pukul 10.00 WIB.
“Terkait penyelidikan kasus BLBI,” kata Rizal di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta. Seperti diketahui, KPK memulai penyelidikan SKLI BLBI baru-baru ini. Pada Selasa (2/4/2013), lembaga antikorupsi itu meminta keterangan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kwik Kian Gie.
Kasus BLBI ini pernah diusut KPK saat Antasari Azhar menjadi ketua KPK sekitar 2008. Saat itu Antasari mengatakan, KPK menaruh perhatian jika ada oknum atau pejabat yang melakukan penyimpangan dalam penerbitan SKL tersebut.
Menurut Antasari, jika ada proses SKL ada yang tidak sesuai ketentuan, KPK akan merekomendasikan agar kasus BLBI itu dibuka kembali. Namun, KPK juga tidak bisa serta merta mencabut Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) yang dikeluarkan kejaksaan. KPK, kata Antasari, akan menjadikan fakta persidangan kasus dugaan suap jaksa Urip Tri Gunawan sebagai salah satu bahan pengusutan.
Penyimpangan BLBI
Kejaksaan Agung saat dipimpin MA Rachman menerbitkan SP3 terhadap 10 tersangka kasus BLBI pada 2004. Korupsi BLBI merupakan salah satu perkara korupsi terbesar yang pernah ada. Hasil audit BPK menyebutkan, dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara. Penggunaan dana-dana tersebut kurang jelas.
Selain itu, terdapat penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui grup bank tersebut. Sebaliknya, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.
Sementara Jaksa Agung saat itu, MA Rachman menerbitkan SP3 atas dasar SKL yang dikeluarkan BPPN berdasar Inpres No 8/2002. SKL tersebut berisi tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, dikenal dengan inpres tentang release and discharge.
Berdasar inpres tersebut, debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti itu, mereka yang diperiksa dalam penyidikan akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara (SP3).
Tercatat beberapa nama konglomerat papan atas, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintah. Padahal, Inpres No 8/2002 yang menjadi dasar kejaksaan mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, seperti UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.