Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penolakan KPU Bukan Pelanggaran Kode Etik

Kompas.com - 11/04/2013, 06:22 WIB
Nina Susilo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — KPU dinilai tidak melanggar peraturan perundang-undangan maupun kode etik kendati menolak putusan Bawaslu terkait gugatan PKPI. Sebab, putusan Bawaslu tidak final dan mengikat untuk sengketa verifikasi calon peserta pemilu dan daftar calon legislatif.

Hal ini disampaikan para ahli dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Rabu (10/4/2013). Hadir sebagai saksi ahli, pengajar Ilmu Hukum Administrasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang Prof Saldi Isra, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya Prof Ramlan Surbakti, dan pakar manajemen pemilu Didik Supriyanto.

Selain itu, anggota Komisi II DPR Arif Wibowo dan Taufiq Hidayat hadir memberi keterangan sebagai mantan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu. Dugaan pelanggaran kode etik tujuh anggota KPU sebelumnya diadukan oleh Bawaslu dan Refly Harun dari Center of Democracy Election & Constitution.

KPU diduga melanggar kode etik karena menolak menjalankan putusan Bawaslu yang mengabulkan gugatan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan memerintahkan KPU menerima partai itu menjadi peserta pemilu. Ramlan menilai KPU masih menjalankan tugas dalam koridor hukum dan kode etik. Sebab, KPU memperlakukan sama semua parpol, termasuk yang tidak lolos.

Sikap KPU menolak putusan Bawaslu juga diambil setelah mendengarkan pertimbangan banyak pihak. Saldi pun menilai, KPU tidak melanggar peraturan perundangan ketika menolak putusan Bawaslu tersebut. Sebab, UU 8/2012 menegaskan secara eksplisit, bahkan keputusan Bawaslu tidak final dan mengikat untuk verifikasi calon peserta pemilu dan daftar caleg.

Namun, bila parpol tidak menerima keputusan Bawaslu atau KPU dan sengketa tidak dapat diselesaikan, parpol bisa mengajukan banding ke PTTUN. Di sisi lain, Saldi menyebutkan KPU tidak menghilangkan kesempatan PKPI untuk banding ke PTTUN dengan menolak putusan Bawaslu tujuh hari setelah pembacaan putusan. Sebab, Pasal 269 Ayat 2 UU 8/2012 hanya menyebutkan batas waktu tiga hari setelah dikeluarkan keputusan Bawaslu.

Namun, kata Saldi, majelis haakim perlu menanyakan kapan salinan putusan Bawaslu disampaikan kepada KPU. Dalam catatan Kompas, putusan dibacakan Bawaslu Rabu (5/2/2013) menjelang tengah malam dan salinan putusan disampaikan kepada KPU Kamis (7/2/2013) petang.

Sementara itu, Riawan menilai dalam perspektif administrasi negara, perlu dipisahkan kesalahan institusi (faute de service) dan kesalahan pribadi (faute de personelle). Keputusan institusi tidak serta-merta diarahkan kepada individu sebagai pelanggaran kode etik, kecuali ada kesalahan subyektif. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com