Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cermat Bahas RUU KUHP dan KUHAP

Kompas.com - 11/04/2013, 02:18 WIB

Jakarta, Kompas - Sejak disusun pada 1982, draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana baru akan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan rentang waktu 31 tahun itu, terjadi sejumlah perubahan, seperti mazhab dari legalitas ke progresif. DPR perlu cermat membahas.

Demikian disampaikan Ketua Tim Perumus Rancangan KUHP Andi Hamzah saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (10/4). Dalam rapat untuk mencari masukan terkait draf RUU KUHP dan RUU KUHAP ini hadir anggota tim perumus, Ronny Nitibaskara.

Naskah KUHP yang disusun sejak 1982 itu sudah diserahkan ke pemerintah pada 1992. ”Sudah 21 tahun. Tidak pernah sampai ke DPR lantaran pergantian pejabat yang berwenang. Belum dikirim sudah ganti pejabat, diutak-atik lagi,” ujar Andi.

Andi juga mengaku sempat khawatir dengan sejumlah ketentuan di draf RUU KUHP, misalnya tentang kumpul kebo yang sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi. Ketentuan tentang ilmu gaib yang belakangan disebut dengan santet, menurut Andi, juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat.

Ronny Nitibaskara menambahkan, ”Kesimpulan saya, santet dijadikan sarana fitnah dan konflik. Untuk itu tim penyusun Rancangan KUHP memakai delik formil, yaitu ditujukan kepada mereka yang menawarkan ilmu hitam dan bisa menyebabkan celaka orang lain.”

Tentang adanya ketentuan bagi penghina presiden dan wakil presiden dalam draf RUU KUHP, menurut Andi, ketentuan serupa ada di sejumlah negara. Di Jerman, menghina presiden bisa dihukum. Di Jepang, orang dapat dipidana karena menghina kaisar atau kepala negara asing.

Namun, anggota Komisi III DPR, Achmad Dimyati, mengatakan, masalah penghinaan presiden dan wakil presiden sudah diputus Mahkamah Konstitusi dan bersifat final-mengikat. ”Saya ingin mengetahui parameter penghinaan itu. Misalnya mengkritik pemerintah korupsi, apakah itu penghinaan?” ujar Dimyati.

”Delik penghinaan ini pasal karet. Memang orang tidak boleh menghina. Namun, perlu diperjelas,” ucap anggota Komisi III, Ahmad Yani.

LPSK prihatin

Secara terpisah, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengungkapkan keprihatinannya terhadap keberadaan LPSK yang tidak disebutkan dalam Rancangan KUHAP.

   ”Kami berharap, di tengah tingginya kebutuhan atas jaminan perlindungan saksi dan korban selama ini dapat mendorong sejumlah pihak mendesak pengaturan secara maksimal ketentuan perlindungan saksi dan korban dalam RUU KUHAP,” kata Abdul Haris Semendawai dalam seminar Menyongsong Perspektif Baru Perlindungan Saksi dan Korban dalam Revisi KUHAP, di Jakarta, kemarin.

Keberadaan dan eksistensi LPSK sebagai institusi yang mendapat mandat untuk memberikan perlindungan terhadap saksi, korban, dan pelapor. (NWO/LOK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com