JAKARTA, KOMPAS.com - Pasal tentang larangan penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Undang-undang Kitan Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai sebagai upaya mengekang kebebasan warga untuk berpendapat. Selain itu, pasal penghinaan yang sudah pernah dicabut Mahkamah Konstitusi tersebut juga dianggap bisa menimbulkan rezim otoriter.
"Apabila pasal ini dipaksakan masuk, maka ini patut diduga sebagai upaya untuk membungkam sikap-sikap kritis masyarakat kepada pemerintah (presiden) dan upaya mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di muka umum," ujar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Indra, melalui pesan singkat, Minggu (7/4/2013).
Indra menilai pasal larangan penghinaan terhadap presiden ini sebagai bentuk kemunduran berdemokrasi yang sudah berkembang di Indonesia pascaruntuhnya Orde Baru. "Pasal penginaan presiden berpotensi mengembalikan pemerintahan yang represif dan otoriter," katanya.
Indra berpendapat bahwa tolok ukur penghinaan presiden juga sangat rancu. Ia menilai pasal yang dimuat dalam RUU KUHP itu masih bersifat lentur atau biasa disebut pasal karet. Pasal itu bersifat multitafsir dan dapat disalahgunakan serta dapat berdampak negatif pada demokratisasi Indonesia.
Ia menyayangkan masuknya kembali pasal larangan penghinaan presiden itu, padahal pasal tersebut sudah pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi dan MK akhirnya mencabut pasal-pasal terkait penghinaan presiden tersebut. Pemerintah, disebut Indra, harus patuh pada keputusan MK ini.
"Sebagai pelaksana putusan pengadilan, pemerintah tak boleh abai dan arogan memaksakan pasal tersebut dihidupkan atau dimasukkan kembali ke dalam RUU KUHP," kata Indra.
Menurut Indra, harga diri presiden dibangun berdasarkan kebijakan yang pro-rakyat, program-program yang bisa menyejahterakan rakyat, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pemberantasan narkoba, dan pemberantasan premanisme. Selain itu, menjaga marwah Kepala Negara sebenarnya cukup dengan menampilkan sosok presiden yang berintegritas, cerdas, dan konsisten dengan program pro-rakyat.
"Bukan dengan upaya mengekang kebebasan berpendapat warganya di muka umum melalui pasal-pasal karet. Oleh karena itu, pasal penghinaan presiden dalam draf perubahan RUU KUHP sebaiknya dihapus," ujarnya.
Dalam RUU KUHP yang sedang dikaji oleh Komisi III DPR RI, pada Pasal 265 disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dapat di pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori IV. Adapun Pasal 266 menyebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wapres dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau dipidana dengan denda paling banyak kategori IV.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.