DPR melalui Komisi III kemudian mempersiapkan pembahasan 766 pasal RUU KUHP dan 285 pasal RUU KUHAP. Ini tentu saja memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit.
Dua RUU itu merupakan karya ahli hukum Indonesia tiga generasi sejak almarhum Prof Oemar Senoaji, Prof Roeslan Saleh, dan Prof Soedarto. Tiga tokoh dan ahli hukum selanjutnya menghaluskannya.
RUU KUHAP di bawah koordinasi Prof Andi Hamzah, sedangkan RUU KUHP di bawah koordinasi Prof Muladi dan Prof Barda. Misi penyusunan kedua RUU adalah unifikasi hukum dan kodifikasi hukum pidana Indonesia.
Sejak pemberlakuan UU RI Nomor 7/Drt/1955 jo UU RI Nomor 1 Tahun 1961 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi, banyak UU yang dibentuk di luar KUHP sekaligus dengan hukum acara yang menyimpang dari UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Konsekuensi reposisi perundang-undangan pidana adalah dalam RUU KUHP (2012) beberapa tindak pidana khusus, termasuk korupsi, menjadi materi muatan Buku Kedua tentang Kejahatan dengan konsekuensi hukum tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan tindak pidana khusus (special crimes) dan bersifat luar biasa, melainkan hanya tindak pidana umum (conventional crimes).
Dengan demikian, hukum acara pidana penerapan tindak pidana tidak boleh lagi menyimpang dari asas-asas umum hukum pidana yang diakui universal seperti asas praduga tak bersalah, asas fair and impartial trial termasuk mekanisme pembuktian terbalik dan tindakan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tanpa izin pengadilan.
Konsekuensi itu diperkuat penjelasan penyusun RUU KUHAP yang merujuk pada beberapa konvensi internasional tentang perlindungan HAM. Sesuai dengan doktrin hukum pidana bahwa hukum acara pidana (hukum formal) adalah untuk melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana (hukum materiil), sepatutnya pembahasan RUU KUHP didahulukan daripada RUU KUHAP.