JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Pemantau Peradilan Pemilu melaporkan majelis hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta ke Komisi Yudisial, Rabu (3/4/2013) lalu. Hal itu terkait dugaan pelanggaran kode etik dalam pengangan kasus PKPI.
Koalisi Pemantau Peradilan Pemilu mengatakan, tujuan pelaporan itu agar ke depan kinerja hakim lebih baik dan tidak terulang lagi pelanggaran serupa. Demikian Deputi Direktur Perludem Veri Junaidi, saat dihubungi Kompas, dari Jakarta, Kamis (4/4/2013).
Menurut Veri, laporan yang dilakukan pihaknya ke KY, bukanlah untuk merubah keputusan yang sudah ditetapkan PT TUN, di mana PKPI lolos sebagai peserta Pemilu 2014. "Dengan adanya laporan itu, kami ingin mendorong KY membina hakim PT TUN untuk bekerja lebih baik, terutama dalam menjalankan kode etiknya.
Hal itu terkait ke depan akan lebih banyak sengketa-sengketa pemilu yang akan di hadapi oleh PT TUN, karena negara kita mulai memasuki musim pemilu atau politik," ujar Veri.
Seperti diberitakan Kompas, Rabu, laporan dugaan pelanggaran kode etik itu disampaikan para pemerhati hukum dan pemilu dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Legal Roundtable (ILR), Indonesian Parliamentary Center, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, serta Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.
Dugaan itu muncul karena dasar pertimbangan dalam memutus permohonan parsial, gugatan bisa diajukan tanpa limitasi, obyek sengketa terlalu luas dan tidak konsisten, majelis hakim mengurusi masalah kode etik yang bukan wilayahnya, serta menutup hak untuk kasasi.
Menanggapi hal itu, anggota Badan Pengawas Pemilu Nelson Simanjutak mengatakan, Bawaslu mengapresiasi laporan itu. "Sah-sah saja ada yang melaporakan ketidakpuasan atas kinerja hakim PT TUN tersebut. Karena laporan itu hak setiap warga negara dalam kehidupan berdemokrasi," ucapnya.
Akan tetapi, Nelson menjelaskan, keputusan PT TUN sudah bersifat final dan mengikat karena tidak ada lagi upaya hukum setelah keputusan tersebut. "Dengan begitu, upaya melaporkan hakim PT TUN ke KY tidak akan merubah keputusan yang sudah ditetapkan," tuturnya.
Nelson menambahkan, terlepas adanya pelanggaran kode etik atau tidak, kita harus menghargai keputusan majelis hakim PT TUN. Itu terkait setiap keputusan hakim harus independen dan tidak boleh diinterpensi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.