Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Problem Partai Islam

Kompas.com - 23/03/2013, 01:50 WIB

Syahruddin YS

Pergeseran politik nasional kurun lima tahun terakhir cukup menarik. Muncul konsep-konsep teoretis yang mencoba mengedepankan partai sebagai alat uji kemampuan politik.

Partai Islam, partai nasional, dan partai yang berlabel sekuler (walaupun istilah itu mungkin tidak banyak yang setuju jika partai non-agama disebut sekuler) bersaing memperebutkan simpati masyarakat dengan jargon-jargon ’rakyat’. Namun, sekali lagi, informasi dari media massa yang sudah semakin terbuka membuat masyarakat tidak aneh lagi dengan isi perut lembaga yang disebut partai politik.

Mereka laksana artis kondang yang terus disorot kamera. Apalagi jika tersangkut kasus korupsi dan pelanggaran etika, seakan semua mata memandang bahwa tingkah laku politikus berlaku sama. Termasuk di dalamnya partai berlabel agama.

Partai sebagai simbol

Bertolak dari nilai-nilai virtual itu, menarik apa yang ditulis Komaruddin Hidayat, ”Menimbang Partai Agama” (Kompas, 20/2), mengenai tiga pilar utama kekalahan partai (agama) Islam dalam panggung politik nasional. Bertolak dari pemikiran Komaruddin, mari kita lihat secara linear pikiran-pikiran politik keagamaan dengan konsep-konsep yang rasional tanpa melepaskan konsesi-konsesi sejarah.

Rasa pesimistik yang dialami Komaruddin Hidayat tampaknya menyeruak ke dalam legitimasi emosional partai Islam yang belum berhasil mengedepankan partai Islam sebagai simbol agama. Suatu simbol yang oleh Clifford Geertz (1973) dikatakan sebagai satu sistem sosial. Dalam simbol orang bisa membangun sistem nilai sepenuhnya. Jika tidak logis diperlukan sepenuhnya pada empiris koersif, jika tidak maka pembenaran secara filosofis, atau empirik universal.

Kosmologi keagamaan yang diperjuangkan partai Islam belakangan ini memang mengalami delegitimasi di masyarakat. Namun, bukan partai sebagai simbol, melainkan partai sebagai person dan individu yang tidak taat pada fungsi-fungsi simbolik yang dilegitimasikan ke dalam konsep berpartai.

Jika kita bernegara kemudian presiden korup, bukan berarti negara tersebut harus ditutup atau disegel, tetapi person yang melakukan kesalahan itu yang harus kena sanksi hukum. Dalam konsep antropologis, negara adalah sistem simbol makro yang memiliki legitimasi hukum internasional, partai adalah simbol mikro dalam konsep dan undang-undang di satu negara.

”Islam yes partai Islam no”, seperti Cak Nur agung-agungkan dalam periodisasi sekularistik ala Barat, adalah satu upaya yang dipahami sebagai satu konsep yang memutuskan mata rantai sejarah nasional Indonesia. Partai Islam memiliki peran aktif dalam pembentukan legitimasi Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan terstruktur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com