Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangsa Indonesia Alami Disorientasi

Kompas.com - 09/03/2013, 09:13 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena sosial bangsa saat ini menunjukkan disorientasi nilai yang sangat memprihatinkan. Banyak elite politik korup, masyarakat bermental instan ingin kaya dan gampang marah, serta aparat negara bertindak brutal.

Sampai Jumat (8/3/2013), panggung politik selalu gaduh. Satu per satu politisi tersangkut kasus korupsi, seperti kasus proyek Hambalang, kuota impor daging sapi, dan pengadaan Al Quran. Konflik sosial juga mudah meletus. Masyarakat bermental instan untuk mendapatkan hasil cepat hingga terjebak investasi bodong. Bertambah runyam karena aparat negara yang seharusnya menciptakan kedamaian dan stabilitas justru menciptakan keonaran seperti dalam kasus penyerangan terhadap Markas Kepolisian Resor Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.

Pada saat sama, para pemimpin bangsa dinilai lemah dan tak sungguh-sungguh melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tanpa keteladanan elite politik dan para pemimpin, bangsa ini cenderung mengalami anomi, yaitu kehilangan pegangan terhadap nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

”Disorientasi nilai terjadi hampir di berbagai aspek kehidupan. Publik terlampau sering melihat kemunafikan pemimpin yang tidak memiliki integritas sehingga sebagian masyarakat juga mengambil jalan menerabas, mencari jalan mudahnya, dan tidak lagi percaya pada hukum,” kata Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra.

Kemunafikan menunjukkan lemahnya integritas pemimpin tersebut. Azyumardi mencontohkan, ketika pemimpin meminta elite politik tidak gaduh, tetapi pada saat sama justru gaduh dengan kemelut internal di partai politik.

Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah A Syafii Maarif mengatakan, bangsa Indonesia sekarang ini sudah ”kusut masai” akibat sudah terlalu banyak borok yang menyerang. Gelombang utama moral sudah tumpul, bahkan rusak, sedangkan nilai-nilai kebaikan seperti jadi riak-riak kecil saja. Budaya liar kian marak.

”Salah satu akar masalahnya adalah kepemimpinan yang lemah dan tidak mampu memberikan teladan. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dipegang lagi, sementara elite politik semakin pragmatis,” kata Syafii.

Menurut Taufik Abdullah, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), selama 40 tahun (Orde Lama dan Orde Baru), bangsa Indonesia dipimpin secara otoriter. Secara tak langsung, tumbuh dalam diri kita sikap otoriter, yaitu merasa benar dan mau menang sendiri. Ketika Reformasi 1998 membuka ruang kebebasan, demokrasi, dan otonomi daerah, sifat otoriter itu muncul dalam berbagai bentuk.

Demokrasi dan desentralisasi yang terlalu banyak dan terlalu cepat membuat masyarakat mudah saling curiga dan mudah bertikai. Multipartai tumbuh pesat, tetapi politik justru kehilangan ideologi dan idealisme. Perilaku politisi menjadi oportunis sehingga menyuburkan korupsi, sekaligus juga adventuristik (leluasa bertualang) yang membuat orang mudah berpindah partai.

”Hampir semua kader partai politik menjadi petualang. Tidak ada bekal ideologi dan nilai-nilai kebangsaan diwariskan,” kata peneliti LIPI, Siti Zuhro.

”Politik berhenti di politik kekuasaan. Politik sebagai sebuah kebijakan untuk mendistribusikan kesejahteraan tidak dijalankan,” ujar Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Institute.

”Yang dipertontonkan adalah politik tidak etis, yang biasa kita lihat di bincang-bincang televisi. Kebebasan berkembang tanpa komitmen etika, politik hampa etika” tambah Yudi.

Etika individu, kata pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Franz Magnis-Suseno, memang penting ditekankan, tetapi tidak dapat menembus budaya politik yang cenderung koruptif. Pemerintah dan DPR perlu memikirkan perubahan struktur politik.

Pematangan substansi demokrasi justru berhenti. Situasi kian parah karena presiden sebagai pemimpin tertinggi lemah dan serba ragu dalam semua hal sehingga menciptakan ketidakpastian. ”Kita akhirnya mengalami proses anomi, yaitu kehilangan pegangan terhadap nilai-nilai moralitas. Orang kehilangan batas-batas baik-buruk atau salah-benar. Ini memicu perilaku menyimpang dan konflik di masyarakat,” kata Taufik.

Ketiadaan kepemimpinan tegas untuk mengatur dan mengelola bangsa yang multikultur, menurut Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi UI, memang menjadi salah satu penyebab berbagai persoalan bangsa seperti ini. Peran pemimpin sedemikian penting mengingat bangsa Indonesia lebih bersifat paternalistik. Menurut Sarlito, beragam persoalan sosial itu tidak terlepas dari pengaruh era informasi yang demikian bebas. Tidak ada lagi penjuru yang bisa digunakan untuk menyaring informasi sehingga masyarakat tidak memiliki acuan, mana yang benar dan mana yang tidak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Nasional
Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Nasional
Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Nasional
PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Nasional
Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

Nasional
Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Nasional
Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Nasional
Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Nasional
KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

Nasional
Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Nasional
Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

Nasional
Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com