Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Terjal Parpol Menuju Pemilu

Kompas.com - 04/03/2013, 02:22 WIB

YOHAN WAHYU

Satu tahun menjelang digelarnya pemilihan umum, tidak semua partai politik dinilai publik siap bertarung dalam pesta demokrasi tersebut. Citra yang terpuruk, sistem kaderisasi, dan kasus korupsi menjadi beban politik terbesar yang memengaruhi kinerja partai dalam mempersiapkan diri pada kontestasi politik 2014.

Citra buruk parpol menjadi stigma yang terus melekat dan membebani partai dalam meraih simpati publik. Selain problem citra yang cenderung merosot, institusi demokrasi ini pun dinilai belum maksimal menjalankan fungsinya. Hampir semua responden (85,8 persen) dalam jajak pendapat Kompas pekan lalu menilai parpol belum bekerja untuk kepentingan rakyat. Publik juga menilai partai belum membenahi manajemen organisasinya.

Parpol cenderung hanya memainkan peran elektoral semata, sementara mekanisme organisasi terabaikan. Dalam hal penguatan sistem kepartaian, misalnya, partai dinilai lebih mengedepankan peran sosok yang kuat di partai. Peran kuat ketua umum atau ketua dewan pembina relatif mewarnai wajah kepartaian saat ini. Hal lain menyangkut manajemen partai berkaitan dengan pengelolaan konflik dan keuangan partai. Dua hal ini masih menjadi problem besar dalam parpol.

Dalam hal konflik, misalnya, tidak sedikit partai gagal menyelesaikan konflik internalnya. Bahkan, beberapa di antara konflik tersebut menjadi gugatan hukum. Apa yang terjadi di Partai Demokrat, antara lain, merupakan potret bagaimana konflik internal partai gagal diselesaikan di tingkat internal partai. Mundurnya Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum setelah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus Hambalang disebutkan oleh 62,8 persen responden tidak menjamin konsolidasi partai itu membaik.

Perpindahan sejumlah kader partai juga tidak lepas dari dinamika internal partai. Mundurnya Hary Tanoesoedibjo dari Partai Nasdem dan berpindah ke Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan sebaliknya politisi Akbar Faizal dari Hanura ke Nasdem jadi contoh bagaimana pindah partai menjadi salah satu pilihan dalam konteks pengelolaan dinamika kepartaian. Separuh lebih responden (65,7 persen) jajak pendapat ini melihat partai belum terlalu baik mengelola dinamika internalnya.

Soal pendanaan partai adalah hal penting lain yang disorot publik. Mayoritas responden (80,1 persen) menilai selama ini partai belum transparan terkait pendanaan sehingga kerap mengundang kecurigaan publik. Apalagi jika terkait pemilu, tentu partai membutuhkan pendanaan besar yang di atas kertas rasanya mustahil jika hanya mengandalkan sumbangan dan iuran anggota.

Biaya iklan kampanye di Pemilu 2009 dapat menjadi gambaran jumlah dana yang dibutuhkan partai. Hasil jajak pendapat The Nielsen mencatat Partai Demokrat menjadi salah satu partai terbesar dalam membelanjakan iklan partai. Pada kuartal I-2009, belanja iklan pemilu Demokrat mencapai Rp 123,056 miliar, berada di posisi kedua setelah Golkar (Rp 185,153 miliar). Meskipun demikian, Demokrat menempati posisi tertinggi dalam frekuensi iklan di televisi dengan tampilan mencapai 6.531 kali tayangan.

Korupsi

Kebutuhan dana besar bagi partai kerap jadi pembenaran bagi tindak pidana korupsi yang melibatkan elite parpol. Fakta juga menunjukkan, tidak sedikit elite parpol menjadi terpidana kasus korupsi. Opini publik jajak pendapat ini memperkuat hal tersebut. Tiga dari empat responden menyebutkan, korupsi adalah beban paling besar bagi partai menghadapi Pemilu 2014.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com