Jakarta, Kompas
”Kalau Sipadan-Ligitan lepas, itu bukan kesalahan rezim pasca-Reformasi. Pasca-1998, pemerintah sudah tidak punya kekuatan untuk membangun wilayah perbatasan,” kata peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabottingi, yang ditemui di sela pemutaran film
Film
Peneliti sosial politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, mengatakan, film
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, mengatakan, film tentang perbatasan RI sangat relevan dengan upaya membangun nasionalisme saat ini. ”Kalimantan Barat dari kualitas indeks penduduk hanya sedikit di atas Papua. Sama-sama tertinggal sebagai daerah perbatasan,” kata Asvi.
Menurut dia, sebuah film dapat menjadi sumber dan agen sejarah, seperti dilakukan Iran, Irak, bahkan Jerman Nazi sekalipun. Asvi mengingatkan, Hitler pada 1936 mendistribusikan 70.000 proyektor untuk memutar propaganda dan meraih dukungan publik Jerman. Kehadiran film-film tentang wilayah perbatasan RI di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur diyakini Asvi bisa dijadikan pemicu bagi pembangunan wilayah tersebut.
Reydonnyzar Moenek dari Humas Kementerian Dalam Negeri mengakui, ada kesenjangan pembangunan perbatasan. Karena itu, pemerintah memprioritaskan 112 lokasi perbatasan untuk dikembangkan.
”Tahun ini dialokasikan anggaran Rp 4,7 triliun untuk pembangunan perbatasan. Menteri turun langsung ke Miangas di Sulawesi Utara, Atambua di Nusa Tenggara Timur, Krayan di Kalimantan Utara, Pulau Nipah di Kepulauan Riau, dan lain-lain,” ujar Moenek.
Fokus pembangunan terutama pada infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Kemdagri saat ini mengatur koordinasi 29 instansi dan 7 gubernur terkait pengelolaan perbatasan.