JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menulis "ojo dumeh" di status atau message Blackberry Massenger miliknya sepanjang hari ini, Selasa (12/2/2013).
Sebelumnya, status Anas di BBM sempat membuat heboh karena bertuliskan "Politik Para Sengkuni", yang diterjemahkan banyak pihak sebagai sindiran atas peta politik di internal Partai Demokrat saat ini.
Lalu apakah status terbaru Anas soal "ojo dumeh" ini terkait dengan posisinya saat ini dimana sejumlah kewenangannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat diambil alih oleh Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?
Terkait dengan pesan "ojo dumeh" ini, pakar Pendidikan, Prof Mudjia Rahardjo, dalam situsnya sebagaimana dikutip Tribunnews.com, Selasa, menjelaskan makna dari "ojo dumeh". Bagi masyarakat Jawa "ojo dumeh" memiliki nilai-nilai luhur yang sampai hari ini masih dipegang. Yang artinya sikap untuk tidak mentang-mentang.
Prof Mudjia menulis sebagai sebuah nilai, ojo dumeh memiliki makna sangat dalam dan masuk dalam ranah yang luas, bisa mengenai kedudukan, kekuasaan, kekayaan, dan status sosial.
Ini merupakan ajaran Jawa ketika orang harus sadar bahwa kehidupan itu berputar. Suatu saat di atas dan saat lain di bawah. Ketika di atas, misalnya, ketika berkuasa dan memiliki akses banyak, jangan mentang-mentang dan berperilaku semena-mena terhadap orang lain atau bawahannya.
Selanjutnya, Prof Mudjia menulis kekuasaan bisa dijadikan momen untuk beramal saleh dengan menjadi tempat bertanya, tempat menyelesaikan persoalan, dan tempat berlindung banyak orang sehingga orang merasa nyaman karena kehadirannya.
Ketika menjadi orang kaya, juga jangan sombong terhadap orang lain, yang mungkin di bawahnya. Kekayaan yang dimiliki bisa bermakna bagi orang lain. Misalnya, bisa membantu orang lain yang memerlukan dan sedang kesulitan.
Ketika memiliki ilmu yang banyak pun tidak congkak dan keminter. Kelebihan ilmu yang dimiliki bisa dimanfaatkan untuk ikut memintarkan orang lain. Kita bisa menggunakan filsafat padi "semakin berisi semakin merunduk".
Mungkin ini sulit sebab naluri manusia selalu ingin lebih dari yang lain dalam banyak hal. Maka dari itu, perlu agama yang mengajarkan nilai-nilai luhur dan meredam nafsu manusia untuk tidak serakah, sombong, menyepelekan orang lain, dan seterusnya.
Jika ditelaah mendalam, lanjut Prof Mudjia, sebagai sebuah nilai, maka ojo dumeh bisa menyelamatkan manusia di mana pun berada. Tatkala di atas dia bisa menghargai orang lain sehingga, jika suatu saat di bawah, maka masih banyak orang menghargainya. Karena orang akan teringat jasa baiknya, maka dia masih tetap dihormati karena berjasa.
Sebaliknya, jika saat berkuasa atau punya kedudukan tinggi berlaku semena-mena terhadap orang lain, maka tatkala tidak lagi berkuasa, orang akan enggan menghormatinya.
Karena kedalaman nilai yang dikandung, ojo dumeh menarik untuk dikaji secara akademik. Dikatakan, tak ketinggalan, seorang antropolog bernama Nico Schulte Nordholt pernah melakukan penelitian tentang nilai Jawa ini, yang disponsori oleh Pemerintah Belanda, dan membukukannya dengan judul Ojo Dumeh, terbit pada 1987 oleh Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
Buku itu menjadi salah satu buku terlaris di bidang sosiologi dan antropologi. Penelitian dilakukan selama dua tahun (1977-1979) dengan mengambil lokasi di tiga kecamatan di Jawa Tengah dengan mewawancarai 200 keluarga di tiap kecamatan. Subyek penelitiannya adalah para lurah, camat, dan pegawai-pegawai pemerintah yang terlibat dalam kegiatan pembangunan desa dengan titik berat pada hubungan para camat dan lurah.
Nordholt menemukan bahwa sikap ojo dumeh menjadi pegangan hubungan antara camat dan lurah yang terlibat langsung dalam pembangunan. Keharmonisan hubungan antara camat dan lurah berjalan efektif karena dijaga melalui nilai ojo dumeh. Ojo dumeh menjadi camat, ojo dumeh menjadi lurah.