Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepemimpinan Trisakti

Kompas.com - 02/01/2013, 02:16 WIB

 Oleh AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN

Pada awal musim hujan yang baru turun di tanah Jakarta, kami sekumpulan dosen, aktivis kemanusiaan, dan jurnalis dari Aceh sampai Papua—bertemu dalam forum Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan. Selama tiga hari kami bertukar pengalaman bersama tentang persoalan di antara kita dalam konteks keindonesiaan.

Salah satu persoalan penting yang kami diskusikan terkait dengan kepemimpinan Indonesia. Bagi kami, kepemimpinan Indonesia menjadi problematik ketika hanya diputuskan segelintir lapisan sosial elite Jakarta yang memiliki akses dominan atas kekuasaan ekonomi-politik di negeri ini. Kepemimpinan Indonesia ke depan—yang melingkupi gugus kebinekaan Indonesia dalam segenap dimensinya—sudah saatnya dirundingkan oleh segenap pluralitas Indonesia, terutama kaum muda.

Persoalan kepemimpinan Indonesia menjadi tantangan ke depan sekaligus krisis dalam kehidupan kita berbangsa. Krisis kepemimpinan Indonesia ini tampil dalam beberapa indikator utama, yang memperlihatkan runtuhnya prinsip-prinsip dalam Trisakti yang pernah dicanangkan oleh Soekarno pada 1963 sebagai parameter kemajuan bangsa. Tiga prinsip itu adalah berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam ranah sosial-kebudayaan. Meskipun Trisakti ini diucapkan hampir 50 tahun lalu, tetapi prinsip-prinsipnya masih relevan dalam konteks demokratisasi di Indonesia.

Dimensi Trisakti

Dalam kedaulatan politik, konteks demokratisasi memperluas ruang kedaulatan. Di sini bukan lagi terbatas pada kedaulatan negara, lebih dari itu adalah kedaulatan warga negara dalam menentukan posisi politiknya.

Terkait kedaulatan warga negara akhir-akhir ini, kita menyaksikan jajak pendapat dari beberapa lembaga survei ternama di Indonesia tentang kepemimpinan nasional di 2014 yang masih didominasi oleh elite-elite lama. Sebutlah seperti Megawati Soekarnoputri (PDI-P), Aburizal Bakrie (Partai Golkar), Prabowo Subianto (Gerindra), dan Hatta Rajasa (PAN).

Munculnya tokoh-tokoh elite lama di ruang publik utama dalam wacana kepemimpinan nasional menunjukkan terjadinya dua krisis politik. Pertama, terjadinya krisis regenerasi kepemimpinan dalam ruang masyarakat politik. Kedua, partai sebagai katalisator politik gagal menampilkan sosok kepemimpinan muda organik yang berasal dari akar rumput dalam pentas politik nasional. Kedaulatan politik warga, yang di dalamnya termasuk kedaulatan untuk menentukan regenerasi kepemimpinan di negeri ini, dihalangi oleh partai politik yang terbonsai oleh aktivitas oligarki elite-elite politik.

Persoalan kemandirian ekonomi muncul dalam bentuk semakin menguatnya ketidakadilan sosial. Empat belas tahun lebih proses reformasi bergulir di Indonesia, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tumbuh sampai 6 persen pada tahun 2012 hanya dinikmati sekelompok kecil elite ekonomi-politik di Indonesia.

Apabila angka kemiskinan diukur melalui standar Bank Dunia sebesar 2 dollar AS per hari, maka jumlah warga miskin di Indonesia berjumlah 100 juta jiwa atau 42 persen dari jumlah penduduk Indonesia (Enny Sri Hartati, 2012). Pertumbuhan ekonomi yang tengah menaik tidak berjalan seiring dengan penyerapan lapangan kerja kita.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com