Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Putusan DKPP Dinilai Cacat Hukum

Kompas.com - 01/12/2012, 08:51 WIB
Aditya Revianur

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Gusti Putu Artha menilai, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas perkara dugaan pelanggaran kode etik Komisioner KPU cacat hukum, tidak adil, dan tidak realistis. Menurutnya, tugas DKPP hanya terbatas pada pengaduan yang berkenaan dengan dugaan pelanggaran etik. Hal itu diatur dalam pasal 111 ayat (3) UU Nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu.

Seperti diberitakan, putusan DKPP menyatakan 18 parpol tidak lolos verifikasi administrasi berhak menjalani verifikasi faktual. Selain itu, DKPP menghukum jajaran Sekretariat Jenderal KPU dengan pemutasian ke instansi asal yaitu Kementerian Dalam Negeri.

"Dengan demikian, sama sekali DKPP tidak memiliki wewenang untuk membuat putusan yang berkaitan dengan tahapan pemilu. Undang-undang amat jelas menegaskan bahwa ranah pengawasan pemilu menjadi wewenang Bawaslu, "kata Putu, dalam diskusi 'Implikasi Putusan DKPP dan Proses Verifikasi KPU', di Media Center Bawaslu, Jakarta, Jumat (30/11/2012).

Putu mengatakan, sikap DKPP yang masuk ke ranah tahapan pemilu wajib dikoreksi. Jika dibiarkan, ia mengkhawatirkan, DKPP akan mengakuisisi peran Bawaslu, bahkan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Bawaslu yang seharusnya membuat rekomendasi parpol mana yang berhak mengikuti verifikasi faktual dan mana yang tidak," tambahnya.

Lebih jauh, ia mengatakan, putusan DKPP tidak adil. Sebab, DKPP hanya menghukum Kesetjenan KPU. Hal itu, tidak sesuai dengan pertimbangan hukum sidang DKPP.

"Amat terasa jika DKPP melindungi anggota KPU. Seharusnya mereka juga di hukum. Paling tidak teguran keras," terangnya.

Tidak realistis

Selain itu, Putu juga menilai, putusan DKPP tidak realistis. Pasalnya, implementasi putusan DKPP jika dilaksanakan tidak akan menghasilkan kualitas verifikasi lebih optimal karena terbatasnya anggaran KPU untuk memverifikasi 18 parpol.

"Anggaran KPU sudah tersedot habis untuk verfikasi faktual 16 parpol. Tidak mungkin dilakukan penambahan anggaran karena kakunya sistem anggaran. Saya yakin ada kendala anggaran. Kalau ada daerah yang kendala anggaran, pasti kualitas harus dipertanyakan karena standarnya tidak sama," ujarnya.

Faktor geografis, menurut Putu, juga menjadi kendala karena KPU harus berkoordinasi dengan KPUD untuk melakukan verifikasi faktual.

"KPU dapat memutuskan peserta pemilu tanggal 9 Januari untuk 16 parpol. Kalau KPU mengatur jadwal verifikasi sembari konsolidasi anggaran dan geografis, saya kalkulasi untuk 18 parpol selesai akhir Januari tahun depan," kata Putu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

    Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

    Nasional
    Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

    Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

    Nasional
    KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

    KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

    Nasional
    Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

    Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

    Nasional
    Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

    Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

    Nasional
    Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

    Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

    Nasional
    Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

    Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

    Nasional
    Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

    Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

    Nasional
    Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

    Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

    Nasional
    Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

    Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

    Nasional
    TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

    TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

    Nasional
    Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

    Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

    Nasional
    Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

    Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

    Nasional
    Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

    Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

    Nasional
    TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

    TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com